Rabu, 16 Oktober 2024

Hukum (mufaraqah) memisahkan diri dari Imam Shalat

 

Riswan Agustina

Pernah kejadian sebelah saya ada jamaah yg menyelesaikan shalatnya lebih cepat drpd imam, dikarekan anaknya nangis dan memukul2 bapaknya, klo ini masuk kategori yg mana tad ?

Pembuat

Ahmad Syahrin Thoriq

Sunnah, minimal mubah. Karena tangisan anak punya potensi mengganggu jama'ah yang lain.

Riswan Agustina

Ahmad Syahrin Thoriq syukron ustadz

 

 

Bunbun Albanjarsari

Klu imamnya kita ketahui batal sebab tidak pasih bacaan wajib,itu mufaroqohnya wajib ya tad?

Pembuat

Ahmad Syahrin Thoriq

Wajib mufaraqah bila imam tidak fasih yang parah khususnya saat membaca al Fatihah.

 

Ardi Alimuddin

Batas "KEPANJANGAN" bacaan Imam itu apa Ustadz, krn setiap org pasti beda penilaian nya

 

Pembuat

Ahmad Syahrin Thoriq

Melampuai kebiasaan lazim di tempat tersebut. Semisal jamaah di situ biasa membaca di shalat isya surah al A'la, al Fajar atau paling panjang an Naba. Imam tersebut baca Yasin full misalnya

 

 

 

 

Ini Lima Hukum Mufaraqah saat Shalat Berjamaah

Dalam kondisi tertentu saat kita shalat berjamaah, kita boleh memisahkan diri dari imam dan melanjutkan shalat tersebut sendirian. Namun dalam kondisi yang lain, kita tidak boleh memisahkan diri dari imam. Dalam fiqih, pemisahan diri dari imam saat shalat berjamaah disebut dengan mufaraqah. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin, Habib Abdurrahman (wafat 1320 H) menjelaskan dengan terperinci terkait hukum dan kondisi-kondisi di mana kita boleh dan tidak boleh mufaraqah dari imam. Ia berkata: الْحَاصِلُ أَنَّ قَطْعَ الْقُدْوَةِ تَعْتَرِيْهِ اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ وَاجِباً كَأَنْ رَأَى إِمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمُبْطِلٍ وَسُنَّةٍ لِتَرْكِ اْلإِمَامِ سُنَّةً مَقْصُوْدَةً وَمُبَاحًا كَأَنْ طَوَّلَ اْلإِمَامُ وَمَكْرُوْهاً مُفَوِّتاً لِفَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَحَرَاماً إِنْ تَوَقَّفَ الشِّعَارُ عَلَيْهِ أَوْ وَجَبَتِ الْجَمَاعَةُ كَالْجُمْعَةِ Artinya, “Simpulannya bahwa memutus ikatan dengan imam memliki lima hukum. Wajib, jika melihat imam melakukan perkara yang membatalkan shalat. Sunnah, karena imam meninggalkan perkara yang sangat disunnahkan. Mubah, jika imam memanjangkan shalat. Makruh dan bisa menggugurkan keutamaan berjamaah jika mufaraqah tanpa uzur. Haram, jika ada unsur syiar atau wajib berjamaah seperti shalat Jumat.” Pertama, wajib. Kondisi yang mewajibkan makmum mufaraqah adalah jika dia tahu bahwa shalat imam batal, baik karena imam terkena najis atau melakukan perkara yang membatalkan salat. Misalnya, makmum melihat najis yang mengenai imam atau melihat sebagian aurat imam terbuka karena sarungnya bolong. Kedua, sunnah. Jika imam sengaja meninggalkan perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di dalam salat, maka makmum disunnahkan mufaraqah dari imam tersebut. Misalnya, imam sengaja meninggalkan tasyahud awal atau qunut, dalam kondisi seperti ini makmum disunnahkan mufaraqah agar bisa melakukan tasyahud awal atau qunut. Ketiga, mubah. Jika imam memanjangkan shalat, maka makmum dibolehkan mufaraqah. Misalnya, imam sujud terlalu lama atau membaca surah yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, makmum dibolehkan memilih antara terus berjamaah bersama imam atau mufaraqah. Keempat, makruh. Makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam jika tidak ada uzur tertentu yang membolehkan mufaraqah. Misalnya, makmum mufaraqah dari imam padahal imam tidak melakukan perkara yang membatalkan shalat, tidak meninggalkan perkara yang sangat disunahkan dalam shalat atau imam tidak memanjangkan bacaan surah Al-Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam. Kelima, haram. Dalam shalat yang wajib dilaksanakan berjamaah, makmum haram mufaraqah dari imam. Misalnya shalat Jumat. Dalam shalat Jumat, makmum haram mufaraqah karena shalat Jumat wajib dilakukan secara berjamaah. Wallahu a'lam. (Ustadz Zuhri Rasyid Lc.)



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar