πππ πππ‘π¬π πππ¦ππππ₯ππ‘ ππππͺππ ππ¨π‘ππ π ππ¬π
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Bontang secara khusus dan mungkin Kaltim secara umum termasuk daerah yang cukup maju, dalam pengertian sarana dan prasarana penunjang di sini sudah tidak seperti dulu. Apalagi kayak yang dibayangkan orang yang ada di Jawa tahun 90 an tentang Kalimantan, yang dikira kami masih tinggal di rumah-rumah pohon.
Namun kenyataannya yang tak bisa dipungkiri, sisi kekurangannya dakwah di sini masih belum selaras dengan kemajuan kehidupan masyarakatnya. Kreativitas dalam dakwah masih lemah, begitu paling tidak yang saya rasakan.
Ketika teman-teman pada bertanya saat melihat jadwal pengajian saya yang padat, ini ada onlinenya ? Mana rekaman kajian antum ? Mana buku antum ? Tiap hari antum menulis dan mengisi pengajian koq sama sekali nggak ada jejaknya ?
Saya baru sadar, dakwah dunia maya di sini belum banyak yang punya kesadaran. Majelis taklim, pengajian dan kajian ilmu masih sangat konvensional, minim dokumentasi. Masih teramat sedikit masjid yang takmirnya punya kesadaran untuk merekam pengajian lalu menyebarkan ulang.
Kalau satu masjid saja di Bontang, Sangatta, Tenggarong, Samarinda dan Balikpapan dibuat rata-rata pengajian sepekan 3 -4 kali, sudah berapa ribu konten dakwah yang bisa disumbang dari Kaltim ?
Bukan maksud apa pun, hanya sekedar menyampaikan data, saya yang bukan siapa-siapa dalam sepekannya saja bisa mengisi pengajian umum yang tak cukup dihitung jari setiap pekannya di tempat yang berbeda dengan tema berbeda pula, belum lagi ditambah kajian khusus dengan tema² yang membuat saya harus begadangan menyiapkan materi.
Entah sudah berapa kitab yang saya khatamkan, mulai dari aqidah, fiqih, sirah, akhlaq hingga hadits. Tapi semua kajian itu lenyap begitu saja, kalau toh ada rekamannya terpisah-pisah seperti puzzle yang tak berbentuk.
Apa lagi urusan tulis menulis, saya tiap hari mempostingkan tulisan ke sosmed, group dakwah, kontribusi ke web dan juga pesanan orang untuk dijadikan pelengkap tulisannya. Begitu mau mencetak buku, sulit. Sekalinya bisa, mengecewakan.
Sampai sekarang ini masih jadi misteri apa kira-kira sebabnya. Karena kalau bicara kesadaran beragama nyaris orang yang berkunjung ke sini mengakui di Kaltim cukup agamis. Kalau bicara kemampuan dana, ini Kalimantan bossku. Emas di sini bukan hanya ada yang kuning, yang hitam juga ada. Apa lagi yang hitam manis... buanyak sampai nggak laku.
Yang boleh saya duga mungkin karena faktor masyarakatnya di sini rata-rata heterogen, tidak ada kelompok Islam tertentu yang bisa dominan. Dakwah mengalir tanpa hambatan. Sehingga kemauan menyebarkan dakwah dengan corak tertentu yang biasanya menjadi pendorong militansi tak ada di sini.
Atau juga mungkin karena kualitas pendakwahnya masih dianggap kurang bisa bersaing dengan daerah lainnya. Mau disebar koq nggak mutu, mau dibuang koq kadung direkam. Akhirnya nggak dilanjutkan. Begitukah ? Mungkin saya salah tapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar