𝗧𝗜𝗡𝗚𝗞𝗔𝗧𝗔𝗡 𝗠𝗨𝗝𝗧𝗔𝗛𝗜𝗗 𝗗𝗔𝗡 𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔 𝗠𝗔𝗗𝗭𝗛𝗔𝗕
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Berikut ini adalah uraian secara singkat tingkatan mujtahid dan ahli fiqih dalam madzhab yang empat, sebagaimana pembagian ini telah banyak dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka diantaranya dalam Fiqh al Islami wa Adilatuhu jilid 1 halaman 61 – 64 dan al Mausu’ah jilid 1 halaman 34 - 36.
𝟭. 𝗠𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱 𝗺𝘂𝘁𝗹𝗮𝗾
Mujtahid di tingkat ini juga diistilahkan dengan mujtahid mutlaq mustaqil. Mereka adalah para pendiri madzhab-madzhab yang dikenal, baik yang masih eksis maupun yang sudah hilang. Setiap dari mereka memiliki metodologi khusus dalam berijtihad, baik dalam hal dasar-dasar hukum maupun cabang-cabangnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad, yang merupakan para pendiri madzhab empat yang dianut oleh mayoritas besar kaum Muslimin di seluruh belahan dunia, baik di timur maupun barat.
Pada masa yang sama, ada juga imam-imam lain yang tidak kalah kedudukannya dibanding mereka, hanya saja madzhab mereka telah punah, seperti al Auza'i di Syam, al Laits bin Sa'ad di Mesir, Ibnu Abi Laila dan ats Tsauri di Irak, serta ulama lainnya yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab perbedaan pendapat, tafsir, dan syarah hadits serta atsar.
𝟮. 𝗠𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱 𝗺𝘂𝗻𝘁𝗮𝘀𝗵𝗶𝗯
Mujtahil ditingkat ini juga disebut Mujtahid muthlaq ghairu mustaqhil. Mereka adalah murid-murid dan pengikut dari para imam mujtahid besar. Mereka sepakat dengan imam mereka dalam kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip ushul (dasar), namun terkadang berbeda pendapat dalam cabang-cabang hukum (furu').
Pendapat mereka tetap dianggap sebagai bagian dari madzhab yang mereka ikuti, meskipun pendapat itu tidak diriwayatkan langsung dari pendiri mazhab, seperti Abu Yusuf, Muhammad, dan Zufar, yang merupakan murid-murid Abu Hanifah.
Begitu juga dengan Abdurrahman bin Al-Qasim dan Ibnu Wahb, yang merupakan murid-murid Imam Malik, serta Al-Muzani yang merupakan murid Imam Syafi'i. Adapun murid-murid Imam Ahmad, mereka lebih banyak meriwayatkan hadits dan pendapat fiqih Imam Ahmad tanpa ada yang diketahui menyelisihi imam mereka baik dalam ushul (pokok) maupun furu'. Di antara mereka adalah Abu Bakar Al-Atsram, Abu Dawud as Sijistani, dan Abu Ishaq al Harbi.
𝟯. 𝗠𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱 𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯
Juga disebut dengan mujtahid Muqayyad. Mereka adalah para mujtahid yang tidak berbeda dengan imam mereka dalam ushul maupun furu', namun mereka mengeluarkan hukum untuk masalah-masalah yang tidak ditemukan pendapat dari imam atau murid-muridnya.
Mereka tetap mengikuti metode imam dalam mengeluarkan hukum. Mungkin mereka menyelisihi imam dalam masalah yang didasarkan pada adat atau kebiasaan. Mereka menyatakan bahwa perbedaan ini bukan disebabkan oleh dalil atau argumen, tetapi karena perbedaan adat dan zaman.
Seandainya imam mereka mengetahui apa yang mereka ketahui, mungkin imam akan berpendapat seperti mereka. Para mujtahid ini adalah yang menjadi rujukan dalam menegakkan mazhab, memperkuat kaidah-kaidahnya, dan menyusun kembali permasalahan-permasalahannya.
Ulama madzhab di Tingkat ini contohnya al Khassaf, al Tahawi, al Karkhi, al Hulwani, as Sarakhsi, al Bazdawi, dan Qadhi Khan dari kalangan Hanafiyah; al Abhari dan Ibnu Abi Zaid al Qairawani dari kalangan Malikiyah; Abu Ishaq Asy Syirazi, al Marwazi, Muhammad bin Jarir, Abu Nasr, dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan Syafi’iyah; serta Qadhi Abu Ya'la dan Qadhi Abu Ali bin Abi Musa dari kalangan Hanabilah.
𝟰. 𝗠𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗿𝗮𝗷𝗶𝗵𝗸𝗮𝗻 (𝗠𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱𝘂𝗻 𝗠𝘂𝗿𝗮𝗷𝗷𝗶𝗵𝘂𝗻)
Tugas mereka adalah memilih pendapat yang lebih kuat dari beberapa riwayat yang ada, dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama sebelumnya dalam bidang ini.
Ulama ditingkat ini contohnya Al-Quduri dan al Marghinani, penulis al Hidayah dari kalangan Hanafiyah, al Allamah Khalil dari kalangan Malikiyah, ar Rafi'i dan an Nawawi dari kalangan Syafi'iyah, al Qadhi 'Ala'uddin al Mardawi yang merapikan mazhab Hanabilah, dan Abu al Khattab Mahfuz bin Ahmad al Kaludzani al Baghdadi, seorang mujtahid dalam mazhab Hanabilah.
𝟱. 𝗧𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗠𝘂𝘀𝘁𝗮𝗱𝗶𝗹𝗹𝗶𝗻 / 𝗺𝘂𝗷𝘁𝗮𝗵𝗶𝗱 𝗳𝗮𝘁𝘄𝗮
Mereka bukanlah mujtahid yang berijtihad atau merajihkan suatu pendapat atas pendapat lainnya. Tugas mereka adalah menunjukkan dalil-dalil yang mendasari suatu pendapat, menjelaskan dasar yang diandalkan, dan membandingkan antara dalil-dalil tanpa melakukan tarjih (memilih yang lebih kuat), serta tidak menunjukkan mana yang lebih layak untuk diamalkan.
Contoh ulama di tingkat ini adalah seperti penulis kitab Kanz ad-Daqa’iq, penulis Ad-Durr Al-Mukhtar, penulis al Wiqayah, dan penulis Majma’ al Anhur dari kalangan Hanafiyah, serta ar Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Syafi’iyah."
𝟲. 𝗠𝘂𝗾𝗮𝗹𝗶𝗱
Ulama di tingkat ini mereka tidak melakukan ijtihad, tetapi pekerjaan mereka terletak pada kekuatan periwayatan. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: kelompok para ḥuffāẓ (penghafal) dan para pengikut murni.
a. Kelompok para ḥuffāẓ : Mereka adalah ulama yang mengetahui sebagian besar hukum dalam madzhab dan berbagai riwayatnya. Mereka menjadi hujah (otoritas) dalam periwayatan, bukan dalam ijtihad. Ulama di Tingkat ini menjadi otoritas dalam menyampaikan riwayat dan menjelaskan kepada umat tentnag hukum-hukum yang dipegang dalam madzhab yang mereka ikuti.
Ulama di tingkat ini seperti penulis kitab al Kanz, Tanwir al Abṣār, al Wiqāyah, dan al Majma‘.
b. Mutabi' (pengikut murni) : Mereka ini adalah orang-orang yang mengikuti pihak lain dalam segala hal yang berkaitan dengan madzhab. Mereka mengikuti pendahulu mereka dalam ijtihad, dalam tarjih (memilih pendapat yang lebih kuat), dalam penyusunan dalil, serta dalam memverifikasi dan memastikan keabsahan periwayatan.
Mereka hanya memiliki kemampuan untuk memahami buku-buku yang memuat proses tarjih, namun mereka tidak mampu melakukan perbandingan antara riwayat-riwayat yang ada. Mereka tidak memiliki ilmu seperti para mujtahid yang mampu melakukan tarjih dalam berbagai bidang atau membedakan tingkatan-tingkatan tarjih.
Al Imam Ibnu Abidin ketika menjelaskan tingkatan ini berkata :
لا يفرقون بين الغث والسمين، ولا يميزون الشمال من اليمين، بل يجمعون ما يجدون كحاطب ليل، فالويل كل الويل لمن قلدهم
"Mereka tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, juga tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Mereka hanya mengumpulkan apa yang mereka temukan, seperti orang yang mengumpulkan kayu di malam hari tanpa melihat, maka celakalah orang yang mengikuti mereka secara taklid."
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar