Rabu, 16 Oktober 2024

𝗟𝗔𝗕𝗘𝗟 𝗦𝗨𝗡𝗡𝗔𝗛

 


𝗟𝗔𝗕𝗘𝗟 𝗦𝗨𝗡𝗡𝗔𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kata sunnah dewasa ini sudah lumayan akrab di telinga sebagian besar kita. Ia bukan lagi sebuah istilah yang hanya populer di dunia pengajian atau komunitas ustadz saja, tapi masyarakat awam sudah sering mendengarnya. Tentu ini menjadi hal yang membanggakan sekaligus membahagiakan hati setiap orang beriman.

Rasanya hanya orang yang di dalam hatinya ada benih kemunafikan yang sensi dan benci dengan istilah yang mulia dan agung ini.

Namun yang kemudian perlu diingat, sesuatu yang baik sekalipun bila ditempatkan pada tempat yang tidak tepat maka hasilnya bisa kurang baik bahkan menjadi buruk.

Kata sunnah yang mulia itu, bila penempatannya serampangan dan sembarangan, bisa membingungkan banyak orang khususnya mereka yang awam, bahkan dalam sejumlah kasus menimbulkan fitnah perpecahan dan pertikaian.

Karena itu sangat penting mendudukkan kata sunnah sesuai dengan konteksnya. Dan untuk bisa melakukan itu, kita harus tahu penggunaan istilah yang satu ini menurut disiplin ilmu syariat.

1. Hadits

Dalam cabang ilmu hadits, sunnah adalah istilah untuk setiap hal yang disandarkan pada Nabi baik berupa ucapan, perbuatan, keterapan, sifat dan akhlaq beliau shalallahu'alaihi wasaalam.

2. Fiqih

Adapun dalam ilmu ini, sunnah dikenal sebagai definisi dari sebuah hukum syara' yang diperintahkan, namun perintahnya tidak bersifat keras. Atau dalam definisi lain : Dikerjakan mendapatkan pahala ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Lawan dari sunnah diistilah ini adalah makruh.

3. Ushul Fiqih

Sedangkan dalam bidang ilmu ushul, istilah sunnah bermakna salah satu sumber hukum syara' yang disepakati setelah Al-Qur’an, yakni berupa ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi shalallahu'alaihi wasaalam.

4. Aqidah

Dan dalam cabang ilmu aqidah atau ushuluddin, sunnah adalah jalan yang ditempuh dan diajarkan oleh Nabi shalallahu'alaihi wassalam. Lawan dari sunnah menurut jumhur adalah bid'ah.

Penggunaan istilah Sunnah

Maka barang tentu cara menggunakan istilah sunnah yang benar adalah sesuai dengan topik bahasan yang dibicarakan. Harus tertib menggunakan istilah sunnah sesuai konteks masalah.

Jika bahasannya fiqih, ya sunnahnya harus sesuai hukum sunnah dalam ilmu fiqih Jangan kemudian yang dihadirkan justru sunnah menurut istilah Aqidah, yang lawannya bid'ah.

Membahas hukum jenggot misalnya, hukum yang digunakan adalah sunnah menurut fiqih, karena kalau yang dipakai istilah sunnah menurut aqidah, yang tidak berjenggot akan dihukumi sebagai ahli bid'ah, berdosa masuk neraka.

Apesnya ini yang banyak terjadi hari ini. Penggunaan istilah sunnah cenderung tidak teratur bahkan ngawur. Sunnah dalam terminologi aqidah, digunakan untuk menghukumi masalah-masalah fiqih yang sebagian besarnya adalah perkara khilafiyah.

Maka sudah tentu yang akan terjadi adalah kebingungan bahkan kekacauan di tubuh umat. Dan dari sebagian efeknya sebagian orang yang baru belajar Islam jadi alergi, anti dan benci dengan istilah sunnah yang seharusnya mereka cintai.

Saya amati distorsi masalah sunnah itu paling tidak terjadi di tiga kasus utama, yaitu :

1. Labelisasi dan monopoli.

Hari ini jamak kita temui penamaan sunnah, seperti pengajian sunnah, ustadz sunnah, tivi sunnah, masjid sunnah, toko sunnah, dan bahkan belakangan menjadi label hobi seperti biker sunnah dan juga nama makanan seperti es 'kepal sunnah'.

Apa masalahnya, kan baik ?

Jika embel-embel penamaan sunnah hanya sekedar nama, tentu tidak jadi masalah. Memberi nama sesuatu dengan nama-nama yang baik itu bagian dari tuntunan sunnah. Di Arab sana, kita juga sering menjumpai nama toko dan penjual makanan yang diberi nama "Tauhid", "Sunnah" "al Iman" dan semisalnya.

Tapi itu memang benar-benar sekedar nama, ungkapan dan wujud kecintaan sang pemilik toko kepada istilah yang ada dalam agamanya.

Sedangkan yang terjadi di indonesia agak sedikit berbeda kasusnya. Masalahnya tidak sebatas sekedar nama, tapi sunnah dijadikan labelisasi dan mau dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Karena jama' kita temui, mereka yang ngajinya "di pengajian sunnah" tidak akan mau sudi hadir di model pengajian lainnya yang tidak ada label sunnah-sunnahnya.

Yang mereka hadiri itu hanya kajian ustadz sunnah, bukan ustadz lainnya yang tidak sunnah atau istilah mereka : ustadz Syubhat atau ahli bid'ah. Kalau kemenag punya daftar da'i terekomendasi, mereka ini juga punya versi da'i dan dan ustadz sendiri.

Itu mengapa saya pernah bingung ketika safar di sebuah kota, ada salah satu jama'ah yang bertanya kepada saya, "Ustadz, masjid sunnah di tempat antum apakah sudah ada ?"

Dengan sedikit keheranan saya balik bertanya : "Masjid sunnah apa yang anda maksud ? Sunnah menurut fiqih, Ushul fiqih, Aqidah atau Hadits ?

Dia menjawab, "Ahlussunnah ustadz."

Saya menjawab, "Alhamdulillah semua masjid-masjid di Kalimantan umumnya adalah masjid Ahlu Sunnah wal Jama'ah."

Entah mengapa si penanya begitu mendengar jawaban saya tersebut berubah jadi salah tingkah dan wajahnya menjadi merah. Apa kira-kira jawaban saya salah ?

 

𝗟𝗔𝗕𝗘𝗟 𝗦𝗨𝗡𝗡𝗔𝗛 𝗕𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Bentuk distorsi terhadap makna dari kata sunnah, selain point pertama yang telah kita sebutkan yakni menyebabkan adanya labelisasi dan monopoli oleh sebagian pihak, yang selanjutnya terjadi adalah :

𝟮. 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝗺𝗽𝗶𝘁𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵

Muncul kemudian kecenderungan disebagian orang yang mengukur sunnah itu hanya dari segi penampilan luar atau fisik saja. Contohnya, memakai jenggot, celana cingkrang, atau model pakaian tertentu sering kali dianggap sebagai tanda paling utama dari seseorang yang berpegang kepada sunnah. Sedangkan penampilan atau model berpakaian yang lazim dipakai oleh kebanyakan orang dianggap sebagai bukan sunnah.

Padahal, jelas bahwa ketika seseorang telah berpakaian dengan menutup auratnya secara sempurna dan model bajunya juga yang dipakai oleh umumnya masyarakat setempat, justru ia telah mengamalkan sunnah yang sebenarnya.

Justru ada larangan dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam sengaja berpenampilan beda, aneh dan tidak biasa dipakai di suatu tempat yang diistilahkan dengan pakaian Syuhrah. Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa memakai baju syuhrah di dunia, kelak Allah akan memakaikan kepadanya baju kehinaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)

Al imam Ibnu Ruslan rahimahullah menjelaskan :

وإذا كان اللبس لقصد الاشتهار في الناس فلا فرق بين رفيع الثياب ووضيعها والموافق لملبوس الناس والمخالف لأن التحريم يدور مع الاشتهار، والمعتبر القصد وإن لم يطابق الواقع

"Jika seseorang mengenakan pakaian dengan tujuan untuk mencari popularitas di tengah masyarakat, tidak ada perbedaan antara pakaian yang mewah atau sederhana, yang sesuai dengan pakaian orang kebanyakan atau yang berbeda. Hal ini karena keharaman berputar pada tujuan untuk mencari ketenaran, dan yang diperhitungkan adalah tujuan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan."[1]

Kaitannya dengan pakaian syuhrah, ini perlu bahasan sendiri, namun yang jelas menuduh bahwa memakai jubah, atau model pakaian ala Pakistan dan yang semisalnya, sebagai pakaian Syuhrah tidaklah tepat, sebagaimana juga tidak bisa dibenarkan pernyataan bahwa memakai pakaian yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia seperti kemeja, batik atau koko bukan pakaian sunnah.

Benar bahwa diantara tuntunan sunnah Nabi adalah memerintahkan setiap muslim untuk menjaga penampilan dzahirnya termasuk cara berpakaian dan berpenampilan, namun jika pemahaman tentang sunnah hanya berhenti pada penampilan dzahir tanpa memperhatikan esensi ajaran Islam yang lebih dalam, maka kita hanya mengamalkan sebagian kecil dari sunnah itu sendiri.

Islam adalah agama yang seimbang antara aspek dzahir (penampilan lahiriah) dan batin (hati dan niat). Menjaga penampilan adalah penting, tetapi tidak boleh menjadi tujuan dan tolak ukur utama. Bahkan dalam urusan dzahir syariat ini cenderung longgar, membuka peluang perbedaan dan secara umum juga mudah untuk dilaksanakan. Tapi sunnah kaitannya dengan perkara batin seperti masalah akhlaq adalah lebih berat dan ketat.

Nabi shalallahu’alaihi wassalam justru begitu menekankan akan pentingnya akhlak yang mulia dan hubungan yang baik dengan sesama manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan :

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Baihaqi)

𝟯. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗸𝗲𝗿𝗱𝗶𝗹𝗸𝗮𝗻 𝗔𝗵𝗹𝘂𝘀𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 𝘄𝗮𝗹 𝗝𝗮𝗺𝗮𝗮𝗵

Mengukur sunnah hanya dari perkara dzahir lalu mengabaikan aspek-aspek batin atau substansi ajaran Islam kemudian memiliki efek lebih lanjut yakni menyebabkan salah persepsi terhadap perbedaan pendapat atau khilafiyah di kalangan ulama.

Banyak masalah-masalah yang sebenarnya termasuk dalam ranah furu'iyah (cabang) sering kali dianggap sebagai masalah ushuliyah (pokok atau fundamental) yang tak jarang menimbulkan pertikaian dan saling melempar tuduhan telah keluar dari sunnah.

Contoh-contoh dalam dalam masalah ini misalnya dalam ranah ibadah, ada yang menganggap bahwa masjid yang mengumandangkan adzan hanya sekali di saat shalat Jum’at akan dianggap sebagai masjid Sunnah, sedangkan yang dua kali dianggap sebagai masjid yang tidak sunnah. Sebagai antitesa atau respon balik, sebagaian kelompok tertentu juga akan menganggap masjid yang adzannya hanya sekali sebagai masjidnya Wahabi.

Begitu juga nanti masuk ke dalam urusan shalat seperti mensirrkan bacaan basmallah, tidak qunut shubuh, tidak adanya murattal Qur’an, tidak adanya pengumuman sebelum shalat, tidak ada tongkat untuk khatib, tidak adanya tanbih atau pengingat imsak saat Ramadhan dan hal semisalnya, dijadikan sebagai patokan dan ukuran untuk menetapkan ini sunnah atau bukan.

Padahal jelas perkara-perkara tersebut adalah masalah khilafiyah yang mu’tabarah (yang dikenal) dan semua pendapat yang berbeda-beda itu masih dalam ruang lingkup dan upaya mengamalkan sunnah Nabi, bukan untuk menghidupkan bid’ah. Hanya memang lewat pendekatan hukum fiqh yang berbeda atau mazhab yang tidak sama.

Dalam ranah aqidah, distorsi istilah sunnah ini memiliki dampak yang lebih menyedihkan dan jauh lebih serius. Ketika perkara-perkara yang sebenarnya merupakan furu' aqidah (cabang akidah) atau isu yang masih terbuka untuk diskusi dianggap sebagai masalah ushul (pokok), sebagian pihak dengan mudahnya mengeluarkan kelompok lain dari lingkaran sunnah atau bahkan dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Hal ini menjadi sumber perpecahan di kalangan umat, yang seharusnya bisa dihindari dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan tasammuh (lebih menghargai pendapat orang lain).

Contoh klasik yang sering menjadi titik perselisihan adalah dalam isu-isu yang berkaitan dengan bid'ah (inovasi dalam agama). Pandangan terhadap suatu amalan sebagai bid'ah terkadang berbeda antara ulama satu dengan yang lain, terutama dalam hal-hal yang tidak secara tegas diatur dalam al Qur'an dan Sunnah.

Ketika perbedaan pandangan ini terjadi, sebagian orang dengan cepat menuduh yang lain sebagai pelaku bid'ah dan menganggap mereka telah keluar dari Ahlus Sunnah. Padahal, ada banyak amalan yang dianggap bid'ah oleh sebagian ulama tetapi diterima oleh ulama lainnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), yang bisa mendatangkan manfaat dan tetap berada dalam koridor syariat.

Isu-isu lain seperti tawasul tabaruk atau pembahasan tentang sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam ayat-ayat mutasyabihat, seperti makna istiwa', wajah, yad (tangan Allah), juga sering menjadi sumber perdebatan. Sebagian kelompok memilih menafsirkan ayat-ayat tersebut secara tekstual, sementara yang lain menafsirkannya secara metaforis atau mengedepankan tafwidh (menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah).

Perbedaan ini seharusnya dipandang sebagai bagian dari kekayaan intelektual dalam Islam yang masih sangat mungkin ditemukan titik temunya, bukan malah menjadi alasan untuk menuduh pihak lain menyimpang dari jalan sunnah.

Kita sering melihat bahwa perbedaan pandangan dalam isu-isu ini dijadikan dasar untuk mengeluarkan seseorang atau sekelompok orang dari lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ini adalah fenomena yang mengkhawatirkan, karena menutup ruang dialog dan diskusi ilmiah yang sehat, yang sebenarnya sangat diperlukan dalam kajian akidah. Padahal, para ulama besar dalam ilmu aiqdah memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa rincian masalah akidah, namun tetap berada dalam koridor Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Menganggap bahwa hanya satu pandangan yang benar dan menolak pandangan lain sebagai keluar dari sunnah menunjukkan pemahaman yang sempit terhadap keragaman dalam Islam. Aqidah Islam, meskipun memiliki prinsip-prinsip yang jelas dan tegas dalam masalah-masalah pokok seperti tauhid, nubuwwah, dan hari kiamat, juga memiliki ruang diskusi dalam beberapa perkara yang lebih spesifik dan teknis. Perbedaan ini bukan alasan untuk memecah belah umat, melainkan seharusnya dijadikan sebagai bahan dialog yang konstruktif.

Dengan demikian, distorsi istilah sunnah dalam ranah aqidah tidak hanya merugikan dalam konteks keilmuan, tetapi juga berdampak langsung pada persatuan umat khususnya Ahlusunnah wal Jama’ah. Memasukkan isu-isu yang sebenarnya bersifat cabang ke dalam ranah ushul hanya akan memperlebar jurang perbedaan dan menimbulkan saling tuduh yang tidak produktif.

Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan, toleransi dalam perbedaan yang diperbolehkan, dan sikap saling menghormati di antara sesama Muslim, khususnya dalam hal-hal yang tidak menyentuh prinsip dasar agama. Dan kiranya sudah saatnya istilah sunnah itu digunakan untuk menyatukan umat, bukan untuk memecah-belah.

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَأَنَا۠ رَبُّكُمْ فَٱعْبُدُونِ

"Sungguh, inilah agama kalian, agama yang satu, dan hanyalah Aku Tuhan kalian, maka sembahlah Aku." (QS. Al Anbiya': 92)

Wallahu a’lam

_____________

[1] Nailul Authar (2/132)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar