𝗔𝗣𝗔 𝗦𝗘𝗕𝗘𝗡𝗔𝗥𝗡𝗬𝗔 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗕𝗘𝗥𝗢𝗕𝗔𝗧 ?
𝘐𝘻𝘪𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘺𝘢𝘪, 𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮 ? 𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘥𝘢𝘳 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩 ?
Jawaban
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas mengenai hukum berobat dalam Islam, kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan "berobat". Agar jangan sampai dipahami aktivitas yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan bahasan ini ikut kebawa-bawa.
Karena di masyarakat kita banyak hal yang sebenarnya tidak masuk kepengertian berobat dianggap sebagai bagaian dari mencari kesembuhan /berobat, contohnya berobat dengan obat kuat.
𝗣𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁
Dalam bahasa arab berobat diantaranya diistilahkan dengan tadawa dan juga Thabib yang secara bahasa artinya adalah pengobatan dan perawatan. Dikatakan, "Fulan melakukan thabib kepada Fulan," yaitu dia mengobatinya.[1]
Sedangkan secara istilah berobat adalah mencari kesembuhan dari penyakit dengan obat-obatan. Berobat dilakukan ketika dalam keadaan sakit atau keadaan yang semisalnya.[2]
𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗯𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁
Para ulama bersepakat bahwa berobat dari penyakit adalah disyariatkan berdasarkan nash ayat dan hadits berikut ini :
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“𝘋𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵, 𝘋𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯𝘬𝘶.” (𝘘𝘚. 𝘈𝘴𝘺 𝘚𝘺𝘶'𝘢𝘳𝘢: 80)
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
"Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَل الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَل لِكُل دَاءٍ دَوَاءً
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya.’’ (HR. Abu Dawud)
Hanya kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, manakah yang lebih utama : Berobat atau bersabar dengan penyakitnya. Sehingga paling tidak ada 2 pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab tentang hukum berobat, sebagian menghukumi sunnah sedangkan yang lain berpendapat hukumnya mubah.[3]
𝟭. 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮 𝗺𝘂𝗯𝗮𝗵
Kalangan ulama dari madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa hukum asal dari berobat itu hanyalah mubah. Berkata al imam Badruddin al Aini al Hanafi rahimahullah :
لأن التداوي مباح
“Bahwa sesungguhny berobat itu adalah mubah.”[4]
Demikian juga fatwa yang kurang lebih sama juga dinyatakan oleh ulama-ulama madzhab Maliki.[5]
Kalangan ini mengkompromikan adanya riwayat anjuran untuk berobat yang telah disebutkan sebelumnya dengan hadits-hadits tentang sabar terhadap penyakit seperti hadits berikut ini :
عَنْ أُمِّ العَلاَءِ قَالَتْ : عَادَنِيْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَرِيْضَةً، فَقَالَ : اَبْشِرِىْ يَا أُمِّ العَلاَءِ، فَإِنِّ مَرَضَ المُسْلِمِ يُذْ هِبُ اللَّهُ بِهِ خَطَايَاهُ كَمَا تُذْ هِبُ النَّارُ خَببَثَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ
"Dari Ummu Al-Ala', dia berkata :"Rasulullah ﷺ menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah ta'la menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak". (HR. Abu Dawud)
Dalam sebuah riwayat yang masyhur, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya pada Rasulullah ﷺ. “Wahai Rasulullah, apakah balasan bagi seseorang yang terkena demam?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Kebaikan akan mengalir padanya.” Beliaupun berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadamu penyakit demam yang tidak menghalangiku untuk jihad kepadamu.”
𝟮. 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮 𝗺𝘂𝗯𝗮𝗵 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗯𝗮𝗶𝗸
Mayoritas ulama madzhab Hanabilah berpendapat hukum berobat itu boleh, namun meninggalkannya lebih afdhal. Al imam Buhuti al Hanbali rahimahullah berkata :
ترك الدواء أفضل، نص عليه؛ لأنه أقرب إلى التوكل
“Berpendapat beliau (imam Ahmad) meninggalkan berobat adalah lebih baik, karena hal tersebut mendekatkan kepada tawakal.”[6]
Diantara dalil yang digunakan adalah hadits Ibnu Abbas ada seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi ﷺagar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.`
Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi ﷺ mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” (mutafaqqin ‘alaih)
𝟯. 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮 𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵.
Sedangkan ulama kalangan madzhab Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa berobat hukumnya dianjurkan (sunnah). Berkata al imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah :
ويسن التداوي للخبر الصحيح
“Dan disunnahkan berobat berdasarkan dalil yang shahih.”[7]
Ibnul Qayim al Jauziyyah dari kalangan Hanabilah secara khusus bahkan mengcounter pendapat yang mengatakan bahwa berobat itu bisa menjauhkan dari tawakal. Ia berkata,
في الأحاديث الصحيحة الأمر بالتداوي، وأنه لا ينافي التوكل، كما لا ينافيه دفع الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها، بل لا تتم حقيقة التوحيد إلا بمباشرة الأسباب التي نصبها الله مقتضيات لمسبباتها قدرا وشرعا، وأن تعطيلها يقدح في نفس التوكل، كما يقدح في الأمر والحكمة، ويضعفه من حيث يظن معطلها أن تركها أقوى في التوكل، فإن تركها عجز ينافي التوكل الذي حقيقته اعتماد القلب على الله في حصول ما ينفع
"Dalam hadis-hadis yang sahih terdapat perintah untuk berobat, dan hal itu tidak bertentangan dengan tawakal (berserah diri kepada Allah), sebagaimana tidak bertentangan pula dengan menolak rasa lapar, haus, panas, dan dingin dengan lawannya (makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan).
Bahkan, hakikat dari tauhid tidak sempurna kecuali dengan menjalankan sebab-sebab yang Allah ta’ala tetapkan sebagai penyebab bagi akibat-akibatnya, baik dari sisi takdir maupun syariat. Meninggalkan sebab-sebab tersebut merusak hakikat tawakal, sebagaimana juga merusak perintah dan hikmah.
Meninggalkan sebab justru memperlemah tawakal, padahal orang yang meninggalkan sebab-sebab itu menyangka bahwa hal tersebut menguatkan tawakal. Sebenarnya, meninggalkan sebab adalah kelemahan yang bertentangan dengan tawakal, yang hakikatnya adalah bergantungnya hati kepada Allah untuk mendapatkan manfaat yang diinginkan.”[8]
Dalil yang digunakan oleh kalangan ini di antaranya adalah :
1. Dari Abu Darda berkata, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَل الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَل لِكُل دَاءٍ دَوَاءً
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud )
2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi ﷺ : “Wahai Rasulullah, apakah kita berobat?’ Nabi ﷺ bersabda, ‘berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’ (HR.Tirmidzi )
𝗞𝗵𝗮𝘁𝗶𝗺𝗮𝗵
Pendapat ulama klasik tentang hukum berobat ketika sakit berputar diantara hukum sunnah dan mubah. Sedangkan sebagian ulama syafi’iyyah dan ulama kontemporer merinci hukum berobat itu menjadi beberapa bagian[9] yaitu :
𝟭. 𝗪𝗮𝗷𝗶𝗯
Diantara berobat yang dihukumi wajib contohnya adalah berobatnya seseorang dari penyakit yang menyebabkan ia meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu untuk berobat, dan juga diduga kuat penyakitnya bisa sembuh. Maka berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
Al imam Mawardi rahimahullah berkata :
بأن لنا وجها بوجوبه إذا كان به جرح يخاف منه التلف
“Bahwa ada pendapat yang menyatakan wajibnya berobat jika seseorang memiliki luka yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.”[10]
𝟮. 𝗕𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁 𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵/ 𝗺𝘂𝘀𝘁𝗮𝗵𝗮𝗯
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular, maka berobat menjadi sunnah baginya.
𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗺𝘂𝗯𝗮𝗵/ 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat.
𝟰. 𝗕𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗺𝗮𝗸𝗿𝘂𝗵 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗸𝗼𝗻𝗱𝗶𝘀𝗶
𝘢. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘥𝘶𝘨𝘢 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘯𝘧𝘢𝘢𝘵, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘥𝘶𝘨𝘢 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘪𝘢- 𝘴𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘵𝘢.
𝘣. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘥𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵, 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘶𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘐𝘣𝘯𝘶 𝘈𝘣𝘣𝘢𝘴 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪.
𝘤. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘧𝘢𝘫𝘪𝘳/𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘻𝘢𝘭𝘪𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘥𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵.
𝘥. 𝘚𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘴𝘪𝘢𝘵, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘮𝘱𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵, 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.
Dan semua kondisi ini diisyaratkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka hukum berobat menjadi wajib atasnya.
𝟱. 𝗕𝗲𝗿𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗺
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.
Wallahu a’lam.
__________
[1] Lisan al ‘Arab (bahasan طبب)
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (11/116)
[3] Kasyaful Qina (2/76), al Adab asy Syar’iyyah (2/359), Hasyiah Ibn Abidin (5/215), al Hidayah Takmilah al Fath Qadir (8/134).
[4] Al Banayah Syarh al Hidayah (12/267)
[5] At Taudhih (1/355)
[6] Kasyf al Qina (4/7)
[7] Tuhfatul Muhtaj (3/182)
[8] Zaadul Ma’ad (4/15)
[9] Ahkamul Tadwiyah fisy Syari’atil Islamiyah hlm.27-28.
[10] Al Hawi al Kabir (2/251)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar