Senin, 14 Oktober 2024

𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗕𝗘𝗥𝗢𝗕𝗔𝗧 𝗗𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗥𝗔𝗠

 

 


Ahmad Syahrin Thoriq 

𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗕𝗘𝗥𝗢𝗕𝗔𝗧 𝗗𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗥𝗔𝗠

𝘈𝘧𝘸𝘢𝘯 𝘬𝘺𝘢𝘪, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘮, 𝘴𝘦𝘮𝘪𝘴𝘢𝘭 𝘦𝘮𝘱𝘦𝘥𝘶 𝘶𝘭𝘢𝘳, 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘵 𝘑𝘦𝘱𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘭𝘭. 𝘔𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘦𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Mencari kesembuhan dari penyakit atau berobat adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam. Diantara dalilnya adalah sebuah hadits :

تَدَاوُوا ‌يَا ‌عِبَادَ ‌اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا، وَهُوَ الْهَرَمُ

"Berobatlah wahai hamba Allah, karna Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali Dia pula menjadikan obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu kematian.” ( HR. Bukhari)

Tentu saja di sini obat yang disyariatkan untuk dicari sebagai washilah kesembuhan adalah obat-obatan yang halal, sebagaimana halalnya makanan. Lalu bagaimana bila seseorang dihadapkan kepada pilihan berobat dengan sesuatu yang haram, apakah syariat membolehkan atau tidak ?

Pada asalnya ulama mazhab sepakat tidak bolehnya berobat dengan benda najis atau sesuatu yang diharamkan. Dikatakan dalam al Mausu’ah :

اتفق الفقهاء على عدم جواز ‌التداوي ‌بالمحرم والنجس من حيث الجملة، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم

"Para fuqaha telah sepakat atas ketidakbolehan berobat dengan sesuatu yang haram dan najis secara umum, berdasarkan sabda Nabi ﷺ : ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang diharamkan bagi kalian.”[1]

Larangan berobat dengan yang haram didasarkan kepada keumuman dalil :

إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

Lalu bagaimana bila dalam kondisi darurat, seperti keadaan tidak ada obat lain selain benda najis tersebut atau udzur lainnya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam perkara ini, sebagian tetap bersikukuh mengharamkan, sedangkan sebagian kelompok ulama yang lain membolehkan dalam kondisi seperti itu.

𝟭. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗮𝗺𝗸𝗮𝗻

Berkata al Badruddin al Ba’li rahimahullah :

وأما التداوي بالخمر ولحم الكلب وسائر المحرمات فإنه حرام عند جماهير الأئمة كمالك وأحمد وأبي حنيفة وأحد الوجهين للشافعي

“Adapun berobat dengan khamr, daging anjing, dan segala sesuatu yang diharamkan, maka itu haram menurut mayoritas para imam seperti Malik, Ahmad, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Syafi'i.”[2]

Kalangan yang berpendapat bahwa berobat dengan yang haram itu hukumnya terlarang berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini :

إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

Hadist Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

“ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk berobat dengan barang yang haram.” (HR. Ibnu Majah)

Disebutkan dalam sebuah riwayat, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ terkait khamr yang digunakan untuk pengobatan. Maka beliau menjawab,

إنَّها ليسَت بدواءٍ ولَكنَّها داءٌ

“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan penyakit.” (HR. Tirmidzi)

Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama mazhab dari kalangan Malikiyah, Hanabilah dan pendapat yang masyhur dari mazhab Hanafiyah.[3] Hanya saja kalangan Hanabilah memberikan catatan yang diharamkan adalah bila obat tersebut penggunaannya dengan cara dikonsumsi, bila hanya dioleskan atau digunakan tidak dengan jalan dimakan atau diminum mereka membolehkannya.[4]

𝟮. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Sedangkan sebagian ulama yang lain cenderung membolehkan berobat dengan yang haram asalkan bukan khamr. Pendapat ini dimotori oleh para ulama dari kalangan mazhab Asy Syafi’iyyah dan sebagian perkataan dari kalangan Hanafiyah.[5]

Al Imam Izz Abdussalam rahimahullah berkata,

جاز التداوي بالنجاسات إذا لم يجد طاهراً يقوم مقامها؛ لأن مصلحة العافية والسلامة أكمل من مصلحة اجتناب النجاسة، ولا يجوز التداوي بالخمر على الأصح إلا إذا علم أن الشفاء يحصل بها، ولم يجد دواء غيرها

“Dibolehkan berobat dengan barang najis sekalipun jika tidak ada ditemukan dihadapannya benda yang suci/halal. Karena mencari keselamatan dan keafiatan itu didahulukan dari sekedar menghindari najis.Dan tidak diperbolehkan berobat dengan khamr menurut pendapat yang lebih shahih, kecuali jika diketahui bahwa kesembuhan hanya bisa didapatkan dengannya dan tidak ditemukan obat lain yang bisa menggantikannya."[6]

Dalil yang digunakan oleh kalangan ini pertama adalah keumuman kaidah bahwa sesuatu yang darurat itu bisa menghalalkan sesuatu yang dilarang. Firman Allah ta’ala :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Baqarah : 173)

Selain itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan bolehnya seseorang berobat dengan sesuatu yang najis dan benda terlarang lainnya.

Pertama : Dibolehkannya suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta.

Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya…." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Adanya sebuah riwayat dari Anas radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullahﷺ memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin ‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera untuk mengobati penyakit kulit yang ada pada keduanya.

Namun kebolehan berobat dengan benda najis menurut kalangan ini tidak bersifat mutlak, namun memiliki syarat dan ketentuan, yakni : (1) tidak ditemukan obat yang berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, dan (2) Diketahui secara keilmuan bahwa benda najis/haram tersebut memang bisa memberikan kesembuhan.[7]

Lalu bagaimana jika berobat dengan yang haram untuk mempercepat kesembuhan ?

Jadi kasusnya berobat dengan sesuatu yang haram ini bukan karena darurat, tapi karena alasan obat tersebut punya manfaat bisa mempercepat sembuhnya penyakit. Mengenai hal ini jumhur ulama tetap mengharamkan, sedangkan sebagian kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah membolehkan dengan syarat obat tersebut direkomendasikan oleh seorang dokter muslim yang terpercaya.[8]

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

Berobat dengan sesuatu yang haram tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat dan obat tersebut memang terbukti secara keilmuan bisa menyembuhkan. Sedangkan bila bukan karena darurat tapi sekedar supaya cepat sembuh dari suatu penyakit, mayoritas ulama mengharamkan, sedangkan yang lain membolehkan, namun dengan syarat harus berdasarkan anjuran dokter yang terpercaya.

Wallahu a’lam.

__________

[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (11/188)

[2] Al Mukhtashar al Fatawa al Mishriyah hal. 500

[3] Al Mau’su’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyyah (11/119).

[4] Kasyf al Qina (2/76)

[5] Hidayatul Alaiyah hal. 251, Mughi al Muhtaj (41/188)

[6] Qawaid al Ahkam (1/95)

[7] Al Majmu’ Syarhul Muhadzab (9/50-51).

[8] Ibnu Abidin (5/249), Qalyubi (4/203)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar