𝗦𝗨𝗔𝗠𝗜 𝗠𝗘𝗠𝗜𝗡𝗨𝗠 𝗔𝗦𝗜 𝗜𝗦𝗧𝗥𝗜 ; 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛𝗞𝗔𝗛 ?
𝘒𝘪𝘺𝘢𝘪 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮 𝘈𝘴𝘪 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪.
Jawaban
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Sebagaimana yang kita ketahui dalam islam, ada hukum persusuan, di mana bayi yang meminum susu seorang perempuan, ia bisa menjadi anak susuan. Yang mana hukum susuan menyebabkan hukum mahram, diantaranya yang mengharamkan pernikahan sebagaimana haramnya sebab hubungan darah.
Namun fiqih telah mengatur tidak semua aktivitas menyusu itu bisa menyebabkan terjadinya hukum susuan. Seorang bayi atau anak hanya bisa menjadi anak susuan dari ibu susuannya bila memenuhi ketentuan diantaranya :
Pertama, yang menyusu di bawah usia dua tahun.[1] Hal ini berdasarkan dalil firman Allah ta’ala :
وَالْوالِداتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كامِلَيْنِ
“𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶𝘮 𝘪𝘣𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘴𝘶𝘪 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘶𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘶𝘳𝘯𝘢.” (𝘘𝘚. 𝘈𝘭 𝘉𝘢𝘲𝘢𝘳𝘢𝘩 : 233)
Ketika menjelaskan ayat tersebut al imam Qurthubi rahimahullah berkata :
ولا رضاعة بعد الحولين معتبرة
“Tidak ada penyusuan yang dianggap setelah lewat dua tahun.”[2]
Dan juga hadits Nabi ﷺyang berbunyi :
لَا رَضَاعَ إلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْحَوْلَيْنِ
"Tidak ada penyusuan yang menyebabkan pengharaman kecuali yang membuka usus dan terjadi sebelum dua tahun." (HR. tirmidzi)
Al imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
وهذا قول أكثر أهل العلم روي نحو ذلك عن عمر وعلي وابن عمر وابن مسعود وابن عباس وأبي هريرة رضي الله عنهم وأزواج النبي صلى الله عليه وسلم سوى عائشة رضي الله عنهن
“Dan ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu. Diriwayatkan ini adalah pendapat dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah radhiyallahu’anhum, istri-istri Nabi ﷺ selain Aisyah radhiyallahu’anhunna.”[3]
Demikian juga disebutkan dalam kitab al Mausu’ah :
يرى جمهور الفقهاء: المالكية والشافعية والحنابلة وأبو يوسف ومحمد من الحنفية، أن مدة الرضاع التي إذا وقع الرضاع فيها تعلق به التحريم سنتان
“Mayoritas fuqaha (ahli fiqih), yaitu ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, serta Abu Yusuf dan Muhammad dari Hanafiyah, berpendapat bahwa masa penyusuan yang apabila terjadi penyusuan di dalamnya maka menyebabkan pengharaman adalah dua tahun.”[4]
Sedangkan pendapat resmi dari kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa masa penyusuan lebih lama sedikit, yakni dua tahun setengah.[5]
Yang kedua, aktivitas menyusu tersebut mengenyangkan.
[6] Hal ini berdasarkan dalil hadits :
لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ
"Tidak ada penyusuan kecuali yang membuka usus (mengenyangkan).” (HR. Ibnu Majah)
Al imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan batasan mengenyangkan bagi bayi yang menyusu berkata :
في شرط الرضاع لا تثبت حرمته إلا بخمس رضعات هذا هو الصحيح المنصوص
“Dalam syarat penyusuan, pengharaman tidak berlaku kecuali dengan lima kali persusuan. Ini adalah pendapat yang benar menurut nash.”[7]
Selain dua syarat di atas, sebenarnya masih ada syarat lainnya yang ditetapkan oleh para ulama seperti : Berasal dari wanita yang dimungkinkan melahirkan, susu tersebut berasal dari susu wanita yang masih hidup dan lainnya.[8]
Sehingga dari apa yang ditetapkan dari syarat-syarat di atas, seorang suami ketika bercumbu dengan istrinya lalu tertelan sebagian asinya, maka tidak lah berarti si suami menjadi anak susuan bagi istrinya.
Jika kita buka kitab hadits, ternyata apa yang ditanyakan ini pernah terjadi dan telah diberikan fatwa tentang hukumnya. Disebutkan dalam sunan Baihaqi, dari salah satu anaknya Abdullah bin Mas’ud ia berkata :
أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟
“Ada seorang suami membawa istrinya dalam sebuah perjalanan, dan istrinya melahirkan. Namun si bayi itu tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu istrinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya.
Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Istrimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasulullah ﷺ telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.”
Demikian, wallahu a’lam.
[1] Fiqh Ala Madzhab al Arba’ah (1/626)
[2] Tafsir al Qurthubi (3/162)
[3] Al Mughni (11/319)
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/11)
[5] Ibnu Abidin (2/402)
[6] Fiqh Ala Madzhab al Arba’ah (1/626)
[7] Raudhah ath Thalibin (9/7)
[8] Tahrir al Kalam hal. 341, Hasyiah al Qalyubi (4/64)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar