Selasa, 22 Oktober 2024

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨

 

 


 

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 

Dalam hadits tentang perkara bid’ah para ulama berbeda pendapat tentang lafadz kata kullu yang ada dalam kalimatnya. Apakah kata kullu yang artinya adalah semua berarti semua di sini tanpa kecuali, ataukah makna semua yang bersifat umum namun tidak bermakna mutlak.

 

Yang jelas dalam bahasa arab kata kullu (semua) ada yang bersifat semua tanpa kecuali dan ada juga yang bersifat untuk menunjukkan sebagiannya saja. Sehingga di makna ke dua ini penggunakan kullu (semua) hanya untuk menegaskan atau menyebutkan sebagian besar dari sesuatu.

 

Dalam bahasa lainnya termasuk bahasa Indonesia hal ini juga digunakan. Kita ambil contoh untuk bentuk pertama : “Semua ayah adalah laki-laki”,  maka kata “semua” di sini bersifat mutlak adanya, tidak ada ayah yang berjenis kelamin perempuan. Contohnya lagi : “Semua  orang pasti pernah mengalami masa kanak-kanak” dan contoh lainnya.

 

Sedangkan contoh kata semua tapi tidak bersifat mutlak misalnya kalimat : “Semua orang dibuat kaget dengan kejadian tadi malam.” lafadz tersebut meskipun menggunakan kata semua orang tapi tidaklah menunjukkan semua tanpa kecuali. Ia menunjukkan sebagian atau sebagian besar orang, karena tentu ada saja orang yang tidak kaget dengan kejadian tadi malam. Dan contoh lainnya.

 

Nah demikian juga dengan kata kullu dalam kaidah bahasa Arab. Ada yang menunjukkan semua tanpa kecuali dan yang bermakna sebagian. Karenanya berkata al imam Ibnu Atsir rahimahullah :

 

موضع ‌كل، ‌الإحاطة ‌بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض، وعليه حمل قول عثمان رضي الله عنه حين دخل عليه فقيل له: أبأمرك هذا فقال: كل ذلك أي بعضه عن أمري، وبعضه بغير أمري

 

“Topik dari kata kullu adalah makna yang mencakup keseluruhan. Namun demikian bisa juga bermakna sebagian. (Contohnya) makna ini diarahkan ucapan Sayyidina Utsman radhiyallahu’anhu, Ketika beliau didatangi seseorang kemudian ditanya, “Apakah ini perintahmu?” Beliau Radhiyallahu Anhu menjawab, “Kullu (sebagian) itu adalah perintahku dan sebagiannya bukan perintahku.”[1]

 

Al imam Fairus al Abadi rahimahullah, salah seorang pakar dalam bidang bahasa juga menjelaskan hal yang sama :

 

الكل...  ‌اسم ‌لجميع ‌الأجزاء، للذكر والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة... وقد جاء بمعنى بعض

 

"Kullu adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi feminim kullatu. … Dan ada kalanya kullu bermakna sebagian.”[2]

 

Jadi lafadz dalam ayat al Qur’an dan hadits yang menggunakan kata kullu itu memiliki dua kemungkinan makna, yang pertama kullu yang bermakna semua mutak tanpa kecuali dan yang kedua kullu yang berarti sebagian saja.

 

𝗖𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵 𝗸𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 (𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮)

 

Firman Allah ta’ala dalam surah al Ankabut ayat 57 :

 

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

 

 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯.”

 

Ayat di atas jelas dipahami bahwa kata kullu yang digunakan artinya semua secara mutlak. Karena memang tidak akan ada makhluk yang tidak bertemu dengan kematian, semua pasti masti. Orang kaya mati, orang miskin mati, raja-raja mati orang biasa mati …

 

Firman Allah ta’ala dalam surah al Baqarah ayat 20 :

 

إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 

 𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢.”

 

Dalam ayat ini, jelas bahwa kata kullu juga berarti semua tanpa kecuali, karena memang demikianlah kekuasaan Allah yang tanpa adanya batas.

 

Firman Allah ta’ala dalam surah al Baqarah ayat 276 :

 

وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ

 

 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘬𝘶𝘧𝘶𝘳 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘦𝘭𝘪𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘴𝘢.”

 

Kata kullu yang digunakan di ayat ini juga menunjukkan semua tanpa kecuali, karena mustahil Allah subhanahu wata’ala akan menyukai atau meridhai bentuk kekufuran.

 

𝗖𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵 𝗸𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 (𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻)

 

Berikut ini di antara kata kullu yang tidak mungkin dibawa kepada makna semua tanpa kecuali, tapi harus dimaknai sebagiannya. Berikut di antara contoh ayatnya :

 

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا

 

𝘋𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘮𝘱𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘱𝘢𝘭 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘬𝘴𝘢 ”(QS. Al Kahfi: 79)

 

Kata merampas semua kapal di sini tidak mungkin dimaknai seluruh kapal, karena pada kenyataannya raja tersebut hanya merampas kapal-kapal yang masih bagus dan hanya di wilayah tertentu saja.

 

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

 

 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘢 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘴𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳.” (QS. An Naml : 23)

 

Pada ayat ini pun tidak bisa diartikan segala sesuatu secara mutlak karena realitanya ratu Bilqis tidaklah diberikan segala-galanya. Ia tidak memiliki apa yang dikuasai oleh nabi Sulaiman dan juga tentunya raja-raja lainnya, sehingga meskipun lafadz ayat menggunakan kata semua, ia hanya menunjukkan sebagian saja bukan segala sesuatu.

 

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ

 

 𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘵𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢, 𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘬𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 (𝘬𝘦𝘴𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯) 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.” (QS. Al An’am 44)

 

Demikian juga dengan ayat ini, tidak mungkin Allah akan memberikan segala sesuatu kepada orang-orang kafir yang disebutkan di ayat tersebut.

 

ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ ﺣَﻲ

 

𝘋𝘢𝘯 𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘪𝘳.” (QS. Al Anbiya’: 30)

 

Sepintas ayat ini membawa makna kata kullu (semua) kepada makna semua secara mutlak. Namun bila kita teliti lagi akan kita temukan ayat yang menyebutkan bahwa ada makhluknya yang tidak diciptakan dari air namun dari unsur lain. Seperti firman Allah ta’ala :

 

ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟْﺠَﻥَّ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺭِﺝٍ ﻣِﻦْ ﻧَﺎﺭٍ

 

 𝘋𝘢𝘯 𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘑𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢.” (QS. Ar Rahman : 15)

 

𝗟𝗮𝗹𝘂 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗶𝗻𝗶 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗸𝗲 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝗻𝗮 ?

 

Nah di sinilah kemudian para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata kullu dalam hadits tentang masalah bid’ah ini.

 

ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺷَﺮَّ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ

 

 𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢𝘣 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘵𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘵𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥, 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬-𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘳𝘶, 𝘥𝘢𝘯 كل (𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱) 𝘣𝘪𝘥𝘢𝘩 (𝘩𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘳𝘶) 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘵.” (HR Muslim)

 

Sekelompok ulama seperti al imam Asy Syatibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan mayoritas ulama dari kalangan Hanabilah memaknai bahwa kata kullu dalam hadits di atas masuk ke dalam kategori pertama, yakni semua secara mutlak.

 

Sedangkan mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Sebagian Hanabilah memaknai sebaliknya, kata kullu dalam hadits tersebut masuk ke dalam kategori yang kedua, yakni kullu (semua) yang menunjukkan sebagian atau sebagian besarnya.

 

 Mari kita Simak penjelasan dari masing-masing kelompok pendapat ini. Bersambung...

 

📚Wallahua'lam

____

[1] Taj al Arus (30/339)

[2] Al Muhith hal. 1053

 

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗽𝗮𝗿𝘁 𝗜𝗜

 

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 

𝗔. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝗺𝘂𝘁𝗹𝗮𝗸

 

Sebagian ulama memandang bahwa kata kullu dalam hadits tersebut bermakna semua secara mutlak. Karena dianggap konteks hadits berbicara tentang masalah agama, maka adanya hal baru yang tidak termasuk bagian dari agama, ia tidak tercakup dalam hadits tersebut.

 

Al imam Asy Syathibi rahimahullah berkata :

 

أن ‌كل ‌بدعة ‌ضلالة وأن كل محدثة بدعةوما كان نحو ذلك من العبارات الدالة على أن البدع مذمومة، ولم يأت في آية ولا حديث تقييد ولا تخصيص ولا ما يفهم منه خلاف ظاهر الكلية فيها; فدل ذلك دلالة واضحة على أنها على عمومها وإطلاقها

 

“Bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Setiap hal baru adalah bid’ah. Tidak ada ungkapan yang semisal hadits ini yang begitu terang yang menunjukkan bahwa bid’ah itu adalah perbuatan tercela. Tidak ada ayat maupun hadits yang membatasinya atau mengkhususkan maknanya dan tidak ada pula makna yang bisa dipahami yang menyelisihi makna dzahir hadits tersebut.

 

Maka ia menjadi dalil yang jelas bahwa sesungguhnya makna hadits tersebut bersifat umum dan mutlak.”[1]

 

Al imam Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata :

 

فقوله  صلى الله عليه وسلم كلُّ بدعة ضلالة من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ، ‌وهو ‌أصلٌ ‌عظيمٌ ‌من ‌أصول ‌الدِّين، وهو شبيهٌ بقوله: مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ، فكلُّ من أحدث شيئاً، ونسبه إلى الدِّين، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه، فهو ضلالةٌ، والدِّينُ بريءٌ منه، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات، أو الأعمال، أو الأقوال الظاهرة والباطنة

 

“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas, tidak ada satupun yang keluar dari keumuman hadits ini, dan ia merupakan pokok yang sangat penting dari dasar-dasar agama.

 

Hadist ini serupa dengan sabda Nabi lainnya : ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak.’

 

Sehingga setiap hal baru yang disandarkan kepada agama dan tidak memiliki dasar yang bisa dirujuk itulah kesesatan. Dan agama terlepas dari kesesatan seperti itu. Sama saja itu dalam masalah keyakinan, amal, ucapan yang dzahir maupun yang batin.”[2]

 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

 

والبدع ‌المكروهة ‌ما ‌لم ‌تكن ‌مستحبة ‌في ‌الشريعة وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله فهو مبتدع ضال وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله كل بدعة ضلالة فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله. فهو بدعة وضلالة

 

“Dan bid’ah yang dibenci adalah setiap perkara yang tidak diperintahkan oleh syari’at, yaitu membuat syariat baru yang tidak ada perintahnya dari Allah. Barangsiapa membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syariat dari Allah, maka dia adalah pembuat bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud dalam ucapan Nabi shalallahu’alaihi wassalam ; “setiap bid’ah adalah sesat”.

 

Maka bid’ah itu adalah lawan dari pada syari’at. Syari’at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan RasulNya, baik itu perintah wajib atau yang sifatnya anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa Nabi, seperti tarawih berjama’ah, mengumpulkan al Qur’an dalam satu mushaf, membunuh orang-orang murtad atau khawarij dan sebagainya. Apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan.”[3]

 

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhumaa berkata :

 

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

 

”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik.”[4]

 

 Dalil pendapat kelompok pertama ini didasarkan kepada sebuah hadits, di mana Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :

 

‌مَنْ ‌أَحْدَثَ ‌فِي ‌أَمْرِنَا ‌هَذَا ‌مَا ‌لَيْسَ ‌مِنْهُ ‌فَهُوَ ‌رَدٌّ

 

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

 

Dalam hadits tersebut jelas dinyatakan bahwa perkara baru yang ditolak adalah perkara dalam urusan kami ini, yang dimaknai dengan urusan agama. Sehingga perkara yang tidak terkait dengan syariat seperti urusan dunia tidak termasuk di dalamnya.

 

Juga dalil hadits lainnya yang berbunyi :

 

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

 

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad)

 

Sehingga kesimpulan dari pendapat kelompok pertama ini adalah sebagai berikut :

 

1. Setiap bid’ah adalah kesesatan, sebagaimana dzahir hadits telah menegaskan akan hal ini. Sedangkan hal-hal baru yang tidak terkait masalah agama tidak termasuk bid’ah.

 

2. Meskipun kelompok ini menyatakan bahwa lafadz kullu dalam hadits bid’ah bermakna semuanya, tapi tetap harus membagi hal baru menjadi dua, berdasarkan hadits lainnya yang menyebut “Amruna hadza" dalam urusan kami ini.

 

Yang kemudian dimaknai dengan urusan agama, sehingga hal baru itu terbagi menjadi dua, hal baru atau bid'ah dalam urusan agama dan hal baru yang terkait masalah dunia.

 

𝗕. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻

 

Yang selanjutnya adalah pendapat dari mayoritas ulama yang menyatakan bahwa lafadz kullu dalam hadits tersebut adalah bermakna semua yang tidak mutlak alias sebagian saja.

 

Bersambung ...

______

[1] Al I’tisham (1/188)

[2] Jami’ Ulum wal Hikam hal. 597

[3] Majmu’ Fatawa (23/133)

[4] Al Inayatul Kubra (1/339)

 

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗽𝗮𝗿𝘁 𝗜𝗜𝗜

 

 Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 

𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻

 

Yang selanjutnya adalah pendapat dari mayoritas ulama yang menyatakan bahwa lafadz kata kullu dalam hadits tersebut adalah bermakna semua yang tidak mutlak alias sebagian saja.

 

Al imam Nawawi rahimahullah berkarkata :

 

وكل ‌بدعة ‌ضلالة ‌هذا ‌عام ‌مخصوص ‌والمراد ‌غالب ‌البدع قال أهل اللغة هي كل شيء عمل على غير مثال سابق قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

 

 “Setiap bid’ah adalah kesesatan, lafazh semua (kullu) di sini adalah lafazh umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudnya sebagian besar bid’ah. Telah berkata sebagian ahli bahasa pengertian bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya. Dan ulama telah berfatwa hukum bid’ah itu terbagi menjadi lima : Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.”[1]

 

Beliau juga berkata :

 

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات ‌الباطلة ‌والبدع ‌المذمومة ‌وقد ‌سبق ‌بيان ‌هذا

 

“Dalam hadits ini ada pengkhususan untuk hadits “semua hal baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. Maksud hadits tersebut adalah bid’ah yang bathil dan bid’ah yang tercela. Dan telah kami jelaskan masalah ini di bahasan sebelumnya...”[2]

 

Al imam Syaukani rahimahullah berkata :

 

كثير من أهل العلم من تخصيص البدعة القبيحة بما كان من الابتداع في الدين

 

 “Banyak dari ahli ilmu yang mengkhususkan bid’ah yang buruk adalah sesuatu dari hal baru dalam perkara agama...”[3]

 

Al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :

 

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

 

“Yang dimaksud dengan ucapan Nabi shalallahu’alaihi wassallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat yaitu sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan dalil dari syari’at, baik dalil itu bersifat umum atau pun khusus.”[4]

 

Syaikh Muhammad bin Ali Asy Syafi’i berkata :

 

وفي هذا: أي: من سن سنة حسنة الخ ‌تخصيص قوله: كل محدثة بدعة، وكل ‌بدعة ‌ضلالة وقد تقدم انقسام البدعة إلى خمسة أقسام

 

 “Hadits ini :  ‘Siapa yang membuat sunnah yang baik hingga akhir lafadz...’ adalah hadits yang mentakhshis (mengkhususkan) hadits : ‘Setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. Dan telah terdahulu penjelasan tentang bid’ah yang hukumnya terbagi menjadi lima...”[5]

 

𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹𝗻𝘆𝗮

 

Kalangan yang menyatakan bahwa kata kullu dalam hadits bid’ah tersebut bermakna sebagian, menyandarkan pendapat mereka terhadap dalil-dalil berikut ini :

 

1️. 𝗔𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻

 

 𝘈𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘬𝘩𝘴𝘩𝘪𝘴 (𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯)

 

Hadits yang menyebutkan bahwa semua bid’ah adalah sesat ditakhshis oleh beberapa hadits diantaranya :

 

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

 

 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘫𝘦𝘭𝘦𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘥𝘰𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.” (HR. Muslim)

 

Dalam Mu’jam al Washit dikatakan :

 

‌وكل ‌من ‌ابْتَدَأَ ‌أمرا ‌عمل ‌بِهِ ‌قوم ‌من ‌بعده ‌فَهُوَ ‌الَّذِي ‌سنه

 

“Setiap orang yang memulai suatu hal yang belum ada sebelumnya, kemudian diikuti oleh orang lain maka dia sudah membuat sunnah.”[6]

 

Dan al imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬”, 𝘮𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘤𝘰𝘯𝘵𝘰𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮, 𝘢𝘵𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘤𝘰𝘯𝘵𝘰𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘪𝘭 𝘶𝘮𝘶𝘮.

 

𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘨𝘪𝘵𝘪𝘮𝘢𝘴𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘪𝘯𝘰𝘷𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘮𝘢𝘭𝘪𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶. 𝘔𝘪𝘴𝘢𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘵𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘢𝘮𝘶𝘮 𝘮𝘢𝘴𝘣𝘶𝘲 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘴𝘩𝘢𝘩𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘪𝘯𝘪: “𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮, 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘪, 𝘴𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶, 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.

 

𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘵, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘳𝘢𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶.

 

𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘱𝘰𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣: “𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯.” 𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘪𝘸𝘢𝘺𝘢𝘵 𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘥𝘢; “𝘔𝘶𝘢𝘥𝘻 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯. 𝘉𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯”. (HR. Ahmad)”

 

𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶𝘄𝗮𝘆𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 :

 

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ  رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَ

 

ةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا

 

𝘋𝘢𝘳𝘪 𝘙𝘪𝘧𝘢𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘯 𝘙𝘢𝘧𝘪𝘳𝘢𝘥𝘩𝘪𝘺𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘯𝘩𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢:  𝘚𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮. 𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘶𝘬𝘶’, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘴𝘢𝘮𝘪𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘥𝘢𝘩”. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘳𝘢𝘣𝘣𝘢𝘯𝘢 𝘸𝘢𝘭𝘢𝘬𝘢𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘵𝘴𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘵𝘩𝘢𝘺𝘺𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘣𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘧𝘪𝘪𝘩”. 𝘚𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢: “𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘥𝘪?” 𝘓𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣: “𝘚𝘢𝘺𝘢”. 𝘉𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘥𝘢: “𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 30 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘦𝘣𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢”. (HR. Bukhari)[7]

 

Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhshis al-‘am alias mengkhususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan ada hal baru (sunnah) yang bersifat baik.

 

Jadi, mengartikan lafazh kullu dengan “setiap” atau “sebagian” itu berdasarkan adanya dalil yang mentakhshisnya. Jika tidak, maka ia kembali kepada keumumannya seperti pada lafadz kullu yang kedua “kullu dhalalatin fi an-nar” (setiap kesesatan akan masuk neraka), lafazh kullu disini tidak ada dalil lain untuk men-takhshisnya (mengkhsusukan maksudnya) sehingga maknanya “semua” atau “setiap”.

 

2. 𝗥𝗲𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻

 

Secara realita fakta dan logika apabila mengartikan kullu dalam hadits tersebut dengan semua secara mutlak, maka akan berakibat semua hal baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat stempel bid’ah dan akan masuk neraka. Karena redaksi hadits jelas menegaskan : “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama.

 

Maka sudah menjadi konsekuensi logis adanya pembagian bid’ah, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa kata kullu dalam hadits berarti semua tanpa kecuali. Pada akhirnya mereka juga mentakhsis hadits tersebut dengan hadits lain yang berbunyi : “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini.” Yang dengan itu kemudian mereka juga membagi bid’ah atau hal baru menjadi urusan dunia dan agama.

 

3. 𝗦𝗮𝗵𝗮𝗯𝗮𝘁 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗸𝗮𝗿𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗶 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗡𝗮𝗯𝗶

 

Telah kita ketahui adanya beberapa riwayat yang menyebutkan akan hal ini, diantaranya yakni :

 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  رضي الله عنه  لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

 

𝘈𝘣𝘥𝘶𝘳𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘯 𝘈𝘣𝘥 𝘢𝘭-𝘘𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘚𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘮𝘢𝘥𝘩𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘯 𝘢𝘭-𝘒𝘩𝘢𝘵𝘩𝘵𝘩𝘢𝘣. 𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳-𝘱𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘰𝘮𝘱𝘰𝘬. 𝘈𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯. 𝘈𝘥𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘳𝘢𝘥𝘩𝘪𝘺𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘢𝘯𝘩𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵, 𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘶𝘮𝘱𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘮𝘢𝘮, 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬”. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘮𝘱𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘜𝘣𝘢𝘺 𝘣𝘪𝘯 𝘒𝘢𝘢𝘣.

 

𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘯 𝘒𝘩𝘢𝘵𝘩𝘵𝘩𝘢𝘣, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘬𝘮𝘶𝘮 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘮𝘢𝘮. 𝘔𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘴𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶, 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘚𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘪𝘥𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪. 𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮, 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮”. 𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘪𝘵𝘶, 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘳𝘢𝘸𝘪𝘩 𝘥𝘪 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮.” (HR. Bukhari)

 

Meski kemudian ada yang membantah ucapan Umar di atas dengan mengatakan : (1) Itu bid’ah secara bahasa (2) Shalat Tarawih bukan bid’ah. Tetapi sebagai jawabannya bahwa ulama dalam hal ini tidak hendak mempersoalkan apakah kata bid’ah yang diucapkan Umar itu secara bahasa atau istilahi, tapi faktanya Umar mengatakan hal itu sebagai bid’ah tetapi bid’ah yang baik.

 

Yang kedua, faktanya memang shalat Tarawih meski telah dikerjakan di masa Nabi namun tidak pernah dilaksanakan seperti formula yang diperintahkan oleh Umar, yakni secara berjama’ah selama sebulan penuh. Dan Umar melihat bahwa itu adalah lebih baik dari pada orang-orang mengerjakan sendiri-sendiri di awal waktu. Meski beliau mengakui yang tidak mau mengikuti “bid’ahnya” dengan memilih mengerjakan Tarawih di akhir malam seperti contoh di masa Nabi adalah yang lebih baik.

 

𝗥𝗶𝘄𝗮𝘆𝗮𝘁 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁𝗻𝘆𝗮,

 

وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ  رضي الله عنه  قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ  رضي الله عنه  وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ

 

𝘚𝘢𝘪𝘣 𝘣𝘪𝘯 𝘠𝘢𝘻𝘪𝘥 𝘳𝘢𝘥𝘩𝘪𝘺𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘯𝘩𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮, 𝘈𝘣𝘶 𝘉𝘢𝘬𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘢𝘥𝘻𝘢𝘯 𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘮𝘪𝘮𝘣𝘢𝘳. 𝘒𝘦𝘮𝘶𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘜𝘵𝘴𝘮𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘮𝘣𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘻𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘡𝘢𝘶𝘳𝘢’, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘔𝘢𝘥𝘪𝘯𝘢𝘩.” (HR. Bukhari)

 

 Demikian selanjutnya kita dapati adanya beberapa riwayat yang beragam berupa inovasi dalam amaliah yang dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Neberapa sahabat seperti Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu'alaihi wasallam.

 

Artinya, apa yang dilakukan oleh para sahabat bahkan ulama setelahnya berupa beberapa hal baru dalam dzikir dan ibadah, bukan termasuk bid’ah meski tidak dicontohkan langsung oleh Nabi, karena ada dalil umum yang melandasinya.

 

4. 𝗣𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗺𝗶𝘀𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝘂𝗿𝘂𝘀𝗮𝗻 𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮

 

Teorinya memang mudah, persoalan hukum bisa dibagi menjadi dua masalah, yakni bab muamalah atau keduniaan dan masalah dalam agama. Tapi dalam prakteknya tidak semudah itu, karena banyak hal yang hukumnya saling beririsan antara perkara agama dan dunia yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan rumus sederhana :  Ini perkara dunia nggak papa, itu perkara agama tinggalkan.

 

Hal ini karena pertama pada kenyataannya, banyak urusan dunia yang menjadi alat atau fasilitas untuk ibadah. Dan kedua, ajaran Islam itu datang untuk mengatur segala aspek kehidupan. Sehingga kemudian banyak masalah yang memang harus dihukumi dengan kaidah yang digunakan oleh jumhur ulama, yakni apakah sarana tersebut bertentangan dengan dalil atau tidak.

 

Artinya apakah hal baru ini perkara bid’ah yang ia bertentangan dengan dalil agama sehingga dihukumi bid’ah sayyi’ah ataukah ada dalil yang selaras dengannya sehingga bisa dihukumi sebagai hal baru yang merupakan bid’ah hasanah.

 

Bahkan ada sebagian perkara yang sulit untuk ditentukan apakah ia murni urusan agama ataukah perkara dunia, sebut contohnya mushaf al Quran. Yang jelas Qur’an seperti yang kita pegang hari ini bukanlah Qur’an yang ada di masa Nabi dan bahkan beberapa generasi setelahnya.

 

Itu mengapa sayyidina Abu Bakar megeluarkan kalimat :

 

كيف ‌أفعل ‌شيئا ‌لم ‌يفعله ‌رسول ‌الله صلى الله عليه وسلم؟

 

𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 ?” (HR. Bukhari)

 

Artinya beliau dengan ucapannya tersebut menimbang apakah hal yang akan dilakukan berupa kodifikasi Qur’an itu tidak bertentangan dengan dalil agama atau tidak. Yang mana, seharusnya kalau itu jelas cuma sarana atau urusan dunia, beliau kan tidak perlu mengucapkan kalimat seperti itu.

 

Inilah kemudian mengapa kita temukan adanya fakta dalam sejarah, beberapa “perkara dunia” yang sempat menjadi bahasan hangat di tengah-tengah ulama. Yang hari ini oleh sebagian orang disepelekan dengan dikatakan : “Inikan hanya alat dan sarana, koq dibid’ahkan.”

 

Sebelum berkomentar tanpa ilmu yang justru menunjukkan kebodohan kita, alangkah baiknya kita mau menyelami dahulu ilmu para ulama agar tidak mudah mendeskreditkan pendapat pihak lain y angberbeda dengan kita.

 

Tentang bab ini, insyaallah kita bahas di tulisan selanjutnya. Bersambung...

 

📚Wallahua'lam

____

[1] Syarah Shahih Muslim (6/154)

[2] Syarah shahih Muslim (7/104)

[3] Fath ar Rabbani (11/5689)

[4] Fath al Bari (13/254)

[5] Dalil al Falihin (2/446)

[6] Mu’jam al Washith (1/455)

[7] Syarah Shahih Muslim (6/154)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar