Senin, 14 Oktober 2024

𝗠𝗘𝗡𝗝𝗔𝗗𝗜𝗞𝗔𝗡 𝗠𝗔𝗦𝗕𝗨𝗤 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗚𝗔𝗜 𝗜𝗠𝗔𝗠

 

 


Ahmad Syahrin Thoriq

𝗠𝗘𝗡𝗝𝗔𝗗𝗜𝗞𝗔𝗡 𝗠𝗔𝗦𝗕𝗨𝗤 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗚𝗔𝗜 𝗜𝗠𝗔𝗠

Izin bertanya ustadz, di Point A no 6 : Syarat menjadi imam tidak sedang menjadi makmum. Yang sering kali saya lihat yaitu menepuk bahu makmum masbuk untuk menjadi imam bagi makmum masbuk berikutnya. Apa ini yang dimaksud point 6 tersebut ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Telah dijelaskan di bahasan sebelumnya bahwa di antara syarat sah bolehnya seseorang menjadi imam adalah ia tidak sedang bermakmum kepada imam shalat yang lain. Ulama sepakat dengan syarat ini.

Kasusnya misalnya ada seseorang yang masuk shalat berjama’ah dan melihatdi hadapannya ada seorang ulama yang sangat dikaguminya. Lalu ia berniat bermakmum kepada ulama tersebut bukan kepada imam shalat yang ada, padahal sang ulama juga sedang bermakmum kepada imam shalat di depannya. Maka ini yang disepakati tidak sah.[1]

𝙇𝙖𝙡𝙪 𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞𝙢𝙖𝙣𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙨𝙪𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙩𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠𝙖𝙣 ?

Tentang hukum menjadikan seseorang yang tadinya bermakmum dari suatu shalat berjama’ah (masbuq) menjadi imam shalat, ulama berbeda pendapat. Sebagiannya berpendapat bahwa ini tidak sah, sedangkan sebagian lainnya membolehkan.

𝗔. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Kalangan ulama dari madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang masbuq itu tidak sah dijadikan imam. Karena ia dipandang masuk kepengertian syarat ke-6 menjadi imam yang telah dijelaskan.

Menurut pendapat ini, status masbuq dalam shalat berjama’ah adalah orang yang telah berniat menjadi makmum kepada seorang imam. Kemudian Karena suatu hal, yakni sebab tertinggal raka’at shalat, ia harus mennyempurnakan shalatnya. Sehingga ia tetap berstatus sebagai makmum, dan bukan sebagai orang yang shalat sendiri.[2]

Al imam Husain bin Ali As Saghnafi al Hanafi berkata :

المسبوق إذا قام إلى قضاء ما سبق يكون مقتدياً في أصل التحريمة حتى لا يصح ‌اقتداء الغير به

“Masbuq (orang yang tertinggal raka’at shalat), ketika dia berdiri untuk menyelesaikan bagian yang tertinggal, maka dia masih terikat dengan takbiratul ihram asalnya, sehingga tidak sah orang lain bermakmum kepadanya.”[3]

Imam ash Shawi al Maliki berkata :

فلا تصح خلف مأموم، ومنه مسبوق قام لقضاء ما عليه فاقتدى به غيره ولو لم يعلم بأن إمامه مأموم ‌إلا ‌بعد ‌الفراغ ‌من ‌صلاته

"Tidak sah shalat di belakang seorang makmum, termasuk makmum masbuq yang berdiri untuk menyelesaikan shalat yang tertinggal, kemudian ada orang lain yang mengikuti shalat di belakangnya, meskipun orang tersebut baru mengetahui bahwa imamnya adalah makmum setelah selesai dari shalatnya."[4]

𝗕. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Sedangkan para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat sahnya bermakmum kepada masbuq. Karena menurut kelompok pendapat ini, seseorang yang masbuq hakikatnya telah terlepas hubungannya dengan imam shalatnya.

Al Imam Ibnu Hajar al Haitami asy Syafi’i berkata :

خرج الإمام من صلاته بحدث أو غيره (انقطعت القدوة) به لزوال الرابطة فيسجد لسهو نفسه ‌ويقتدي ‌بغيره وغيره به

" Jika imam telah keluar dari shalatnya karena hadats atau sebab lainnya, maka terputuslah hubungan mengikuti (imam) karena hilangnya ikatan. Maka, makmum melakukan sujud sahwi untuk kesalahannya sendiri. Demikian juga boleh menjadikan orang lain sebagai imam atau orang lain boleh menjadikannya sebagai imam.”[5]

Sedangkan kalangan Hanabilah menjelaskan : “Situasi ini (yakni menjadikan masbuq sebagai imam) adalah perkara yang dibolehkan. Sebagaimana bolehnya melakukan pergantian imam dalam shalat. Dalam hadits diriwayatkan bahwa Abu Bakar yang sedang mengimami shalat pernah mundur kebelakang karena datangnnya Rasululah shalallahu’alaihi wassalam, kemudian Rasul menjadi imam menggantikan Abu Bakar."[6]

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Kesimpulannya, kalangan ulama madzhab Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan tidak boleh seorang masbuq untuk dijadikan imam, sedangkan kalangan mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan hal tersebut dibolehkan.

Sebab perbedaan ini adalah karena para ulama berbeda pendapat dalam memandang status masbuq, apakah ia masih sebagai makmum sebuah shalat berjama’ah atau telah terlepas hubungannya. Syaikh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan bermakmum kepada masbuq.

Bila untuk kehati-hatian, lebih baiknya untuk kasus pertama yang ditanyakan, seseorang tidak perlu lagi bermakmum kepada orang lain (sesama masbuq), selain agar selamat dari khilaf, toh dia juga telah mendapat pahala berjama’ah.

Juga jangan sampai kemudian ada jama’ah shalat yang begitu banyak dalam satu tempat yang berdekatan, semisal setiap orang memilih sendiri-sendiri imam dari para masbuk tersebut.

Tetapi khusus untuk kasus shalat jum’at, ulama sepakat menyatakan tidak boleh bermakmum kepada masbuq shalat jum’at.[7]

Wallahu a’lam.

________

[1] Fiqh al Islam wa Adillatuhu (2/1196)

[2] Fath al Qadir (1/277), Syarh ash Shaghir (1/434).

[3] An Nihayah fi Syarh al Hidayah (6/225)

[4] Hasyiah ash Shawi (1/434)

[5] Tuhfatul Muhtaj (2/356)

[6] Al Mughni (2/77), Kasyaf al Qina (1/276).

[7] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/311).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar