𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗕𝗘𝗥𝗛𝗔𝗞 𝗗𝗜𝗣𝗜𝗟𝗜𝗛 𝗠𝗘𝗡𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗜𝗠𝗔𝗠
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Kita tidak boleh sembarangan dalam memilih imam shalat. Selain dari sekedar syarat sah untuk menjadi imam, hal lain yang juga harus dipertimbangkan adalah sisi keutamaan yang ada pada diri seseorang untuk dikedepankan memimpin shalat berjama’ah.
Apalagi jika imam tersebut akan kita jadikan sebagai pemimpin rutin shalat atau imam Rawatib, tentu harus lebih kita perhatikan. Karena baik tidaknya imam, akan sangat berdampak pada kualitas ibadah terpenting dalam kehidupan kita yakni shalat lima waktu.
Berikut ini kami awali bab ini dengan menyebutkan dulu beberapa hadits-hadits Nabi shalallahu’alaihi wassalam tentang siapa saja yang harus diutamakan untuk memimpin shalat berjama’ah. Setelah itu kita hadirkan pendapat ulama yang meramu dalil-dalilnya agar kita tidak salah menyimpulkan dalil tersebut.
Terlebih jika kemudian kita dihadapkan kepada pilihan yang mengharuskan untuk memilih salah satu yang terbaik semisal : Antara orang yang bacaannya tidak terlalu merdu namun ahli fiqih, dengan orang yang tidak ahli fiqih namun hafalannya lebih banyak dan suaranya merdu.
Hadits tentang kriteria imam yang harus diunggulkan
𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗻𝗱𝗮𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗮𝗹 𝗤𝘂𝗿’𝗮𝗻
يَؤُمُّ القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواء فأقدمهم سِلْمًا
"𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘢𝘶𝘮 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘧𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘣𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘤𝘢𝘢𝘯, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘪𝘫𝘳𝘢𝘩. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘪𝘫𝘳𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮." (HR. Muslim)
1. Yang paling tua
لِيَؤُمَّكُم أَكْبَرُكُم
“𝘏𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯." (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pemilik wilayah
Rasulullah ﷺ bersabda :
لا يَؤمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ في أهلِهِ ولا في سُلطانِهِ
"𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘸𝘪𝘭𝘢𝘺𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.” (HR. Muslim)
3. Ulama
Rasulullah ﷺ bersabda :
إنْ سَرَّكمْ أنْ تُقْبَلَ صَلاتُكمْ فلْيَؤُمَّكمْ عُلَماؤُكمْ فإنّهُمْ وَفْدُكمْ فِيما بَيْنَكُمْ وبَيْنَ رَبِّكُمْ
"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘸𝘢𝘬𝘪𝘭𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯." (HR. Thabrani)
4. Orang terbaik
Rasulullah ﷺ bersabda :
إِنْ سَرَّكُمْ أَنْ تُقْبَلَ صَلَاتُكُمْ، فَلْيَؤُمَّكُمْ خِيَارُكُمْ، فَإِنَّهُمْ وَفْدُكُمْ فِيمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ
"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘸𝘢𝘬𝘪𝘭𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯." (HR. Thabrani)
𝗣𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮
Selanjutnya mari kita simak penjelasan para ulama yang tentu lebih memahami dalam mengkompromikan dalil-dalil di atas tentang siapa yang paling berhak untuk dijadikan imam dalam shalat berjama’ah.
𝗞𝗲𝗽𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻
Para ulama menyatakan bahwa orang yang paling berhak mengimami shalat berjama’ah adalah seseorang yang memiliki kekuasaan tertinggi di tempat tersebut. Khalifah lebih berhak dari seorang sultan atau malik, sultan lebh berhak dari seorang amir dan demikian seterusnya.
Para penguasa ini didahulukan untuk menjadi imam shalat atas siapa pun, bahkan termasuk atas ulama imam setempat dan ahli-ahli qiraat. Yang tentu ini dengan syarat bahwa penguasa tersebut memenuhi syarat sah untuk menjadi imam shalat.
Disebutkan dalam al Mausu’ah :
اتفق الفقهاء على أنه إذا اجتمع قوم وكان فيهم ذو سلطان، كأمير ووال وقاض فهو أولى بالإمامة من الجميع حتى من صاحب المنزل وإمام الحي، وهذا إذا كان مستجمعا لشروط صحة الصلاة كحفظ مقدار الفرض من القراءة والعلم بأركان الصلاة، حتى ولو كان بين القوم من هو أفقه أو أقرأ منه، لأن ولايته عامة، ولأن ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج
“Para fuqaha sepakat bahwa apabila suatu kaum berkumpul dan di antara mereka ada seseorang yang memiliki otoritas, seperti seorang amir, wali kota, atau qadhi, maka ia lebih berhak menjadi imam shalat dari pada yang lainnya, bahkan dibandingkan dengan tuan rumah atau imam masjid setempat.
Ini berlaku jika ia memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, seperti hafal bacaan wajib dan mengetahui rukun-rukun shalat. Meskipun di antara mereka ada yang lebih faqih atau lebih baik bacaannya darinya, karena kekuasaannya bersifat umum. Sebagaimana Abdullah bin Umar pernah shalat di belakang Al Hajjaj.”[1]
Dari sini kita memahami bahwa dalam Islam antara kekuasaan (keimaman) dalam urusan “dunia” dengan agama tidaklah bisa dipisahkan.
𝗛𝗮𝗹 𝘂𝘁𝗮𝗺𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝗸 𝗱𝗶𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗶𝗺𝗮𝗺
Kondisi kedua, para ulama menyatakan bahwa yang diutamakan dari yang lain untuk menjadi imam shalat itu adalah orang yang memiliki beberapa hal berikut ini yang terkumpul padanya. Yakni, kefaqihan, bacaan yang bagus, wara’, usia, nasab dan hijrah. Berkata al imam Nawawi rahimahullah
الأسباب التي يترجح بها الإمام ستة: الفقه، والقراءة، والورع، والسن، والنسب، والهجرة
“Sebab-sebab yang membuat imam lebih diutamakan ada enam yaitu kefakihan, kefasihan/qiraat, kewara'an, usia, nasab dan hijrah.”[2]
Dalam al Mausu’ah dinyatakan :
ولا خلاف في تقديم الأعلم والأقرأ على سائر الناس، ولو كان في القوم من هو أفضل منه في الورع والسن وسائر الأوصاف
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam mendahulukan orang yang paling berilmu dan paling baik bacaannya atas orang-orang lainnya, meskipun di antara mereka ada yang lebih utama dalam hal wara', usia, dan sifat-sifat lainnya.”[3]
𝗝𝗶𝗸𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮𝗮𝗻 𝗸𝗿𝗶𝘁𝗲𝗿𝗶𝗮
Namun bagaimanakah masalahnya bila kondisi ideal itu tidak berkumpul dalam diri seseorang ? Atau ada beberapa orang yang saling memiliki kelebihan berbeda dalam hal di atas ? Semisal antara yang faqih atau ahli agama tapi secara hafalan masih kalah dengan orang yang kedua. Yang mana orang kedua ini hafalannya sempurna namun secara kefaqihan kalah oleh orang yang pertama.
Di sini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengunggulkan qari atas faqih. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa ahli fiqih lebih didahulukan dari orang yang qari atau yang baik bacaannya.[4]
Al imam Ibnu Batthal rahimahullah berkata :
اختلف العلماء فى من أولى بالإمامة، فقالت طائفة: يؤم القوم أعلمهم وأفضلهم، قال عطاء: يؤم القوم أفقههم، فإن كانوا فى الفقه سواء فأقرؤهم، فإن كانوا فى الفقه والقراءة سواء فَأَسَنُّهم. قال مالك، والأزواعى، والشافعى: يؤم القوم أفقههم، وهو قول أبى ثور. وقال الليث: يؤمهم أفضلهم وخيرهم. وقالت طائفة: القارئ أولى من الفقيه، هذا قول الثورى، وأبى حنيفة، وأحمد، وإسحاق. واحتجوا بما رواه الأعمش، وشعبة، عن إسماعيل بن رجاء
“Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang lebih berhak menjadi imam dalam shalat. Sebagian ulama mengatakan: Yang menjadi imam adalah orang yang paling berilmu dan paling utama di antara mereka. Atha’ mengatakan: Yang menjadi imam adalah orang yang paling faqih, jika mereka sama dalam hal kefaqihan, maka yang lebih berhak adalah yang paling baik bacaannya, dan jika mereka sama dalam hal kefaqihan dan bacaan, maka yang lebih berhak adalah yang lebih tua usianya.
Malik, al Auza’i, dan Asy Syafi'i mengatakan : Yang menjadi imam adalah orang yang paling faqih di antara mereka, dan ini adalah pendapat Abu Tsaur. Al Laits mengatakan: Yang menjadi imam adalah yang paling utama dan paling baik di antara mereka (yang paling shalih).
Sebagian ulama lain mengatakan: Orang yang paling ahli dalam membaca al Qur'an lebih berhak menjadi imam dibandingkan yang faqih, dan ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq.”[5]
Al imam Nawawi juga turut menjelaskan tentang masalah ini, beliau berkata :
يقول بتقديم الأقرأ على الأفقه وهو مذهب أبي حنيفة وأحمد وبعض أصحابنا وقال مالك والشافعي وأصحابهما الأفقه مقدم على الأقرأ لأن الذي يحتاج إليه من القراءة مضبوط والذي يحتاج إليه من الفقه غير مضبوط وقد يعرض في الصلاة أمر لا يقدر على مراعاة الصواب فيه إلا كامل الفقه قالوا ولهذا قدم النبي صلى الله عليه وسلم أبا بكر رضي الله عنه في الصلاة على الباقين
"Pendapat yang mengedepankan orang yang lebih baik bacaannya atas orang yang lebih faqih adalah madzhab Abu Hanifah, Ahmad, dan sebagian ulama kami. Sedangkan Malik, Asy Syafi'i, dan para pengikut mereka mengatakan bahwa orang yang lebih faqih didahulukan atas orang yang lebih baik bacaannya.
Sebab, bacaan yang dibutuhkan sudah terukur, sementara kefaqihan yang dibutuhkan tidak terukur. Mungkin saja terjadi dalam shalat suatu perkara yang tidak dapat diputuskan dengan tepat kecuali oleh orang yang sempurna kefaqihannya. Mereka juga berkata: Oleh karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendahulukan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu sebagai imam shalat di atas yang lainnya.”[6]
Syaikh Wahbah Zuhaili meski menyebutkan pendapat yang berbeda dari para ulama madzhab, beliau memberikan tarjihnya dengan mengatakan :
الأحق بالإمامة: أحق الناس بالإمامة في ظروفنا الحاضرة: هو الأفقه الأعلم بأحكام الصلاة، وهذا هو المفهوم فقها
“Orang yang paling berhak menjadi imam dalam kondisi kita saat ini adalah yang paling faqih dan yang paling mengetahui hukum-hukum shalat. Inilah yang dipahami secara fiqh.”[7]
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘂𝘀𝗶𝗮 𝘃𝘀 𝗳𝗮𝗾𝗶𝗵 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗮𝗵𝗹𝗶 𝗾𝗶𝗿𝗮𝗮𝘁 ?
Mayoritas ulama berpendapat seorang faqih atau ahli qiraat didahulukan atas orang yang usianya lebih tua namun secara kefaqihan atau kemampuan bacaannya lebih rendah.[8] Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
أن السن مقدم على الفقه وغيره حكاه الرافعي وهو غلط منابذ للسنة الصحيحة ولنص الشافعي والأصحاب والدليل
“Ada yang berpendapat usia didahulukan atas fiqh dan lainnya. Ini diriwayatkan oleh ar Rafi'i, namun pendapat ini salah karena bertentangan dengan sunnah yang shahih, dan bertentangan dengan pendapat yang kuat dari asy Syafi'i serta para sahabatnya, dan bertentangan dengan dalil.”[9]
𝗔𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗾𝗿𝗮 ?
Dalam hadits dikatakan bahwa di antara orang yang harus diutamakan untuk menjadi imam shalat adalah yang aqra terhadap kitabnya Allah. Apa yang dimaksud dengan yang paling baik bacaannya di antara mereka (aqra) di sini, apakah bacaannya bagus meski tidak hafal atau yang hafalannya banyak ?
Nah di sini ulama berberbeda pendapat. Mari kita simak penjelasan al imam Syaukani rahimahullah berikut ini :
وقد اختلف في المراد من قوله: يؤم القوم أقرؤهم فقيل المراد أحسنهم قراءة وإن كان أقلهم حفظا، وقيل: أكثرهم حفظا للقرآن. ويدل على ذلك ما رواه الطبراني في الكبير ورجاله رجال الصحيح عن عمرو بن سلمة أنه قال: انطلقت مع أبي إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - بإسلام قومه، فكان فيما أوصانا: ليؤمكم أكثركم قرآنا، فكنت أكثرهم قرآنا فقدموني
"Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari sabda Nabi: 'Yang menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya di antara mereka.' Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang paling baik bacaannya, meskipun hafalannya lebih sedikit. Sebagian lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang paling banyak hafalannya.
Hal ini didukung oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dengan para perawinya dari kalangan perawi hadits yang sahih, dari Amr bin Salamah, bahwa ia berkata: 'Aku pergi bersama ayahku kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam setelah kaumnya masuk Islam. Di antara wasiat Nabi adalah: Hendaknya yang menjadi imam adalah orang yang paling banyak hafalannya dari kalian. Dan aku adalah yang paling banyak hafalannya di antara mereka, maka mereka mendahulukan aku.”[10]
Sedangkan al imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata :
يوم القوم أقرؤهم لكتاب الله الظاهر أن المراد: أكثرهم له حفظا. وقيل: أعلمهم بأحكامه، والحديث الأول يناسب القول الأول
"Yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaannya terhadap Kitab Allah." Yang kuat maksudnya adalah orang yang paling banyak hafalannya. Ada juga yang mengatakan: orang yang paling mengetahui hukumnya. Namun hadits pertama ini lebih cocok dengan pendapat yang pertama.”[11]
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Yang paling berhak dijadikan imam dalam sebuah moment shalat berjama’ah adalah penguasa setempat yang mengetahui tata cara shalat dengan baik. Dan bila hendak memilih imam rawatib hendaknya memperioritaskan seorang ulama yang baik bacaan shalatnya, senior dan dikenal keshalihannya.
Dan bila dihadapkan kepada pilihan, hendaknya mengutamakan yang lebih alim dalam agama asalkan bacaannya tidak buruk.
Wallahu a’lam.
________________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (6/207)
[2] Raudhatut Thalibin (1/354)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (6/207)
[4] Al Mausu’ah al Fiqihiyyah al Kuwaitiyah (6/207)
[5] Syarah Shahih al Bukhari (2/298)
[6] Syarah Shahih Muslim (5/172)
[7] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1201)
[8] Fath al Bari (2/171)
[9] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (4/282)
[10] Nailul Authar (3/188)
[11] Subulussalam (3/78)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar