𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗜𝗜 : 𝗠𝗘𝗥𝗘𝗞𝗔 𝗔𝗗𝗔𝗟𝗔𝗛 𝗔𝗦𝗬’𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Di tulisan sebelumnya telah kami sebutkan bahwa di antara cara mengetahui madzhab dari seorang ulama adalah dengan (1) Melihat pengakuannya (2) Melihat pemikiran dan amaliyahnya (3) Kesaksian ulama yang lain.
Berikut ini adalah contoh dari ulama-ulama kaum muslimin yang disebut sebagai ulama yang bermadzhab Asy’ariyah lewat ketiga cara di atas atau salah satunya. Kita awali dulu di tulisan kali ini dari al imam al Hafidz Abu Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah. Selamat menyimak, semoga bermanfaat :
𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗞𝗮𝘁𝘀𝗶𝗿 𝗿𝗮𝗵𝗶𝗺𝗮𝗵𝘂𝗹𝗹𝗮𝗵
Berikut ini adalah beberapa bukti dan indikasi kuat yang menunjukkan bahwa al imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah termasuk ulama yang bermadzhab Aqidah Asy’ariyah.
𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Al Hafizh Ibnu Hajar as Asqalani meriwayatkan dalam biografi Ibrahim bin Ibnu al Qayyim al Jauziyyah rahimahullah, sebagai berikut :
ومن نوادره أنه وقع بينه وبين عماد الدين ابن كثير منازعة في تدريس الناس فقال له ابن كثير : أنت تكرهني لأنني أشعري . فقال له : لو كان من رأسك الى قدمك شعر ما صدقك الناس في قولك أنك أشعري وشيخك ابن تيمية
"Di antara kisah uniknya, pernah terjadi perdebatan antara dia (Ibrahim) dan Imaduddin Ibnu Katsir mengenai mengajar masyarakat. Maka Ibnu Katsir berkata kepadanya, 'Engkau membenciku karena aku seorang Asy'ari ?’ Dia menjawab, 'Seandainya dari ujung kepala hingga kakimu dipenuhi rambut (syu'ur), orang-orang tetap tidak akan mempercayai bahwa engkau seorang Asy'ari, karena gurumu adalah Ibnu Taimiyah !" [1]
𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗶 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗹 𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗮𝘀 𝗔𝘀𝘆𝗿𝗮𝗳𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵, 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗔𝘀𝘆'𝗮𝗿𝗶.
Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh al imam Tajuddin as Subki rahimahullah bahwa diantara syarat bagi seseorang untuk bisa diterima mengajar di Darul Hadits al Asyrafiyyah adalah harus bermadzhab Asy’ari dalam aqidah sebagaimana yang telah disyaratkan oleh pewaqafnya. Dan diketahui bahwa al imam Ibnu Katsir memegang jabatan kepala pengajar di madrasah tersebut pada bulan Muharram tahun 772 H. [2]
Mungkin sebagian pihak akan tetap mencari celah dengan mengatakan : Bisa jadi imam Ibnu Katsir dalam hal ini sengaja bertaqiyah. Pura-pura saja mengaku mengikuti Asy’ariyah. Subhanallah, mungkinkah ulama sekelas beliau rela mencari tempat beramal yang bertentangan dengan aqidah dan juga dimungkinkan mendapat rezeki yang tidak halal karena menyelisihi akad ?
Orang seperti kita saja yang cuma begini, diminta mengajar dengan gaji 100 juta perpekan dengan syarat harus mengakui ikut sebuah Aqidah yang sesat katakan harus mengaku Ahmadiyah atau Rafidhah apakah mau ? Kalau saya sih tak sudi ! karena masih banyak cara lain untuk mendapatkan 100 juta tanpa harus menggadaikan Aqidah.
𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝘁𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗧𝗮𝗳𝘄𝗶𝗱𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘁𝗮𝗸𝘄𝗶𝗹
Siapapun yang membaca kitab tafsir beliau, pasti akan mengetahui bahwa sang imam ketika menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah ta’ala beliau melakukan Tafwidh dan juga takwil. Meski cara yang pertama adalah yang paling banyak beliau gunakan.
Dan dalam madzhab Asy’ariyah telah diketahui secara pasti bahwa meskipun takwil dibolehkan, tetaplah adalah metode tafwidh diunggulkan dari takwil.
Kita ambil contoh dalam tafsir Ibnu katsir misalnya saat beliau menjelaskan firman Allah di surah al Baqarah ayat 115 :
ﻭَﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏُ ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ ﺗُﻮَﻟُّﻮﺍ ﻓَﺜَﻢَّ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﺳِﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ
"Dan milik Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."
Beliau berkata : “Dan dalam firman-Nya ini : Sesungguhnya Allah tidak kosong dari tempat mana pun, jika yang dimaksudkan adalah ilmu-Nya, maka itu benar. Sesungguhnya ilmu-Nya mencakup seluruh hal yang diketahui. Adapun Zat-Nya, maka tidak mungkin terkurung dalam salah satu makhluk-Nya. Allah Mahasuci dari hal itu, dengan ketinggian yang besar." [3]
Beliau juga mengutip pendapat Mujahid, yang menyatakan bahwa ketika ayat “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan” diturunkan, para sahabat bertanya, “Ke mana arah yang kita tuju?” Maka turunlah ayat: “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.” [4]
Begitu juga saat beliau menjelaskan firman Allah ta’ala di surah al Maidah ayat 6 :
ﺑَﻞْ ﻳَﺪَﺍﻩُ ﻣَﺒْﺴُﻮﻃَﺘَﺎﻥِ ﻳُﻨْﻔِﻖ ﻛَﻴْﻒ ﻳَﺸَﺎﺀ
“Bahkan kedua tangan-Nya terbuka, Dia memberi sebagaimana yang Dia kehendaki.”
Maksudnya adalah bahwa Allah Maha Luas anugerah dan pemberian-Nya, yang tidak ada satu pun kecuali di sisi-Nya terdapat khazanahnya. Dialah yang memberikan segala kenikmatan kepada makhluk-Nya, tanpa sekutu bagi-Nya.” [5]
Dan masih banyak contoh lainnya.
𝗞𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗔𝗾𝗶𝗱𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗸 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵
Ketika membaca karya beliau maka kita juga akan mengetahui bahwa imam Ibnu Katsir bukan hanya sekedar menukil pendapat para ulama-ulama madzhab Asy’ariyah, tapi juga menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
Tak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, saat beliau menjelaskan tentang masalah ism (nama) dalam surah al fatihah beliau mendatangkan rujukan nama-nama ulama Asy’ariyah seperti Abu Ubaidah, Sibawayh, Baqillani dan imam Fakhrurazi rahimahumullah. [6]
𝗞𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮 : 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗮𝗵𝗹𝘂𝘀𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵
Dalam beberapa karyanya kita akan dapati al imam Ibnu katsir menisbahkan madzhab ahlussunnah wal Jama’ah kepada al imam Abul Hasan al Asy’ari rahimahullah, seperti ucapan beliau :
كما زعمه ابن حزم، وغير واحد من المتكلمين، بل الصحيح الأول، كما حكاه أبو الحسن الأشعري عن مذهب أهل السنة والجماعة
“…Sebagaimana yang diklaim oleh Ibnu Hazm dan beberapa ahli kalam lainnya. Namun yang benar adalah pendapat pertama, sebagaimana yang dinukil oleh Abu Hasan Al-Asy'ari dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.” [7]
وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وقد حكاه الشيخ أبو الحسن الأشعري إجماعا عن أهل السنة والجماعة
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul' (Al Isra: 15). Hal ini juga telah dinukil oleh Syaikh Abu Hasan al Asy'ari sebagai ijma’ dari Ahlus Sunnah wal Jamaah." [8]
Bersambung ke Imam Nawawi, insyaallah…
_______________________
[1] Ad-Durar al Kaminah (1/17)
[2] Thabaqat Asy Syafi’iyyah al Kubra (10/398),
[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/175)
[4] Ibid
[5] Tafsir Ibnu Katsir (3/341)
[6] Tafsir Ibnu Katsir (1/148-149)
[7] Bidayah wa Nihayah (6/36)
[8] Bidayah wa Nihayah (6/555)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar