Jumat, 14 Maret 2025

𝗨𝗗𝗭𝗨𝗥 𝗞𝗔𝗥𝗘𝗡𝗔 𝗛𝗔𝗠𝗜𝗟 𝗤𝗔𝗗𝗛𝗔 𝗔𝗧𝗔𝗨 𝗙𝗜𝗗𝗬𝗔𝗛 ?

 


𝗨𝗗𝗭𝗨𝗥 𝗞𝗔𝗥𝗘𝗡𝗔 𝗛𝗔𝗠𝗜𝗟 𝗤𝗔𝗗𝗛𝗔 𝗔𝗧𝗔𝗨 𝗙𝗜𝗗𝗬𝗔𝗛 ?

Ada perempuan yang tidak bisa berpuasa karena sedang hamil, apakah puasanya nanti wajib diqadha ataukah cukup membayar fidyah saja ?

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Ulama sepakat membolehkan bagi wanita hamil atau menyusui untuk tidak bepuasa di bulan Ramadhan bila ia mengkhawatirkan dirinya atau anaknya bisa mendapat mudharat karena puasanya. Bahkan menjadi haram bila menyebabkan jatuh kepada kebinasaan.[1]

Namun, bila ia sehat wal afiat, kuat mengerjakannya dan juga tidak mengkhawatirkan kesehatannya, ia tetap wajib untuk berpuasa. Jadi, ada sebuah pemahaman keliru yang berkembang di tengah masyarakat yang harus diluruskan, yakni seseorang dianggap tidak wajib berpuasa hanya karena sedang hamil atau menyusui, padahal ia memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.

Dan dalam pandangan ulama khususnya empat madzab termasuk hal yang keliru bila seorang wanita bisa bebas lepas dari kewajiban berpuasanya itu hanya dengan fidyah. Karena sebenarnya, yang diperbolehkan untuk mengganti kewajiban puasa dengan fidyah, itu hanyalah dua golongan. Golongan pertama adalah orang tua yang tidak kuat lagi berpuasa, dan golongan kedua, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh lagi.

Kesimpulannya, seseorang hanya bisa lepas dari kewajiban berpuasa bila memang ia sudah tidak kuasa lagi untuk berpuasa dan tidak kuasa pula untuk mengqadhanya.

Lain halnya dengan wanita hamil atau menyusui, mereka ini masih memiliki kemampuan untuk itu. Banyak wanita yang hamil dan menyusui tetap mampu menunaikan kewajiban berpuasa. Sedangkan yang tidak mampu, mereka masih memiliki kemampuan untuk mengqadha’nya dibulan lain.

Karena sebab inilah kemudian, dalam keterangan fiqih empat madzhab, tidak ada satupun dari para ulama yang memberikan pilihan bagi wanita yang hamil ataupun menyusui untuk mengganti puasa dengan fidyah.

Karena hukum kebolehan wanita yang sedang hamil atau menyusui tidak berpuasa bukan diqiyaskan kepada orang tua yang tidak kuat lagi perpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan baginya. Tetapi, qiyasnya kepada orang yang sakit atau dalam perjalanan.

Dan bukankah orang yang sakit dan musafir yang tidak berpuasa tetap wajib mengqadha puasanya ? Ya, mereka tetap wajib mengqadhanya. Maka demikianlah pula dengan wanita yang sedang hamil atau menyusui.

𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗻𝘆𝗮 𝗤𝗮𝗱𝗵𝗮

Dalam literatul fiqih empat madzhab kita akan dapati keterangan bahwa semua ulama bersepakat bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa tetap waib mengganti puasanya.

Disebutkan dalam al Mausu’ah :

وعليها القضاء بلا فدية وهذا باتفاق الفقهاء.

“Diwajibkan atas wanita tersebut qadha’ bukan fidyah, dan ini adalah kesepakatan ulama.”[2]

Demikian juga al Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan :

فان خافت الحامل والمرضع على أنفسهما أفطرتا وعليهما القضاء دون الكفارة

“Jika seorang wanita yang sedang hamil atau menyusui mengkhawatirkan dirinya (jika berpuasa) lalu ia tidak berpuasa, maka wajib untuknya mengqadha puasanya bukan fidyah...”[3]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan :

وعليهما القضاء فحسب. لا نعلم فيه بين أهل العلم اختلافا؛ لأنهما بمنزلة المريض الخائف على نفسه.

“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang masalah ini (wajibnya qadha), karena keduanya hamil dan menyusui seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.”[4]

𝗞𝗲𝘁𝗲𝗻𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝘄𝗮𝗻𝗶𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗺𝗶𝗹 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝘀𝘂𝗶

Yang diperbeda pendapatkan oleh para ulama madzhab dalam masalah ini hanya diseputaran wajib qadha puasa ataukah qadha sekaligus fidyah. Kalangan madzhab Hanafi berpendapat wanita hamil ataupun menyusui yang tidak berpuasa, mereka ini hanya wajib mengqadha tanpa adanya fidyah.

Sedangkan dua madzhab, yakni kalangan Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat lain. Mereka menetapkan, bila sebab tidak berpuasanya wanita tersebut karena mengkhawatirkan dirinya sendiri, ia memang hanya wajib qadha, tetapi bila tidak berpuasanya karena sebab ia mengkhawatirkan anaknya, ia wajib membayar fidyah sekaligus qadha puasa.

Adapun Malikiyyah lain lagi, mereka menetapkan bagi wanita hamil yang tidak puasa hanya qadha, sedangkan yang menyusui wajib qadha dan juga fidyah.[5]

𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝗳𝗶𝗱𝘆𝗮𝗵

Sebagian ulama kontemporer ada yang membolehkan seorang wanita yang udzur berpuasa karena hamil atau menyusui untuk membayar fidyah saja dengan dalil sebuah atsar yang berasal dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Dimana beliau berdua menyerupakan wanita hamil atau menyusui seperti orang yang tidak sanggup melaksanakan puasa, semisal orang lanjut usia.

Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha.’

Syaikh Yusuf al Qaradhawi dalam fatwanya menyatakan : "Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja. Di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.”[6]

Diketahui di Indonesia yang memegang pendapat ini diantaranya adalah Lembaga tarjih Muhammadiyah.

Sedangkan dalam fiqih klasik tidak diketahui pasti siapa yang memegang pendapat tersebut. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid misalnya, pendapat ini memang ada disebutkan tapi tanpa dinishbahkan (disandarkan kepada siapa) pendapat tersebut, kecuali kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, sedangkan dalam hal ini ada dua riwayat yang bertentangan dari keduanya.[7]

Sedangkan para ulama madzhab tidak menjadikan riwayat tersebut landasan hukum karena dua hal, pertama karena dinilai periwayatannya bermasalah, dan yang kedua atsar tersebut mengandung ihtimal (kemungkinan lain).

Kalangan Syafi’i misalnya menjadikan riwayat Ibnu Umar sebagai dalil wajibnya Qadha ditambah fidyah, bukan untuk menghapus qadha.[8] Karena dalam riwayat lain Ibnu Abbas dan Ibnu Umar juga menyebutkan wajibnya qadha, seperti riwayat berikut ini :

Ibnu Abbas

تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان

Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah.” (HR. Abdurrazaq)

Ibnu Umar

عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت

“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi)

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

Pendapat yang paling baik dan berhati-hati adalah ibu hamil atau menyusui tetap mengqadha puasa dan menyertakan membayar fidyah. Lalu pendapat kedua yang selamat yaitu dengan tetap mengqadha puasa jika telah mampu menunaikannya. Inilah pendapat ulama empat madzhab.

Dan keadaan terakhir, jika memang tidak mampu berpuasa, misal karena banyaknya hutang puasa sebab hamil dan menyusui yang berturut-turut sampai sekian tahun, tidak mengapa untuk megikuti ulama yang membolehkan fidyah agar tidak memberatkan. Namun baiknya dicoba dulu puasa meskipun sehari atau dua hari, sisanya bisa dibayar dengan fidyah.

Dan fatwa syaikh Yusuf al Qaradhawi dalam ini sebenarnya juga demikian, pertimbangan beliau adalah jika qadha itu memberatkan, bukan untuk begitu saja menyuruh ibu hamil atau menyusui untuk tidak puasa dengan membayar fidyah.

وقد يبدو لي أن الإطعام وحده جائز دون القضاء، بالنسبة لامرأة يتوالى عليها الحمل والإرضاع، بحيث لا تجد فرصة للقضاء، فهي في سنة حامل، وفي سنة مرضع، وفي السنة التي بعدها حامل.. وهكذا.. يتوالى عليها الحمل والإرضاع، بحيث لا تجد فرصة للقضاء، فإذا كلفناها قضاء كل الأيام التي أفطرتها للحمل أو للإرضاع معناها أنه يجب عليها أن تصوم عدة سنوات متصلة بعد ذلك، وفي هذا عسر، والله لا يريد بعباده العسر.

“Tampaknya bagi saya, cukup dengan membayar fidyah tanpa perlu qadha, khususnya bagi wanita yang mengalami kehamilan dan menyusui secara berulang-ulang sehingga tidak menemukan kesempatan untuk mengqadha. Misalnya, pada satu tahun ia hamil, kemudian tahun berikutnya ia menyusui, lalu tahun setelahnya ia hamil lagi, dan begitu seterusnya, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha.

Jika kita mewajibkan dia untuk mengganti semua hari puasa yang ia tinggalkan karena hamil atau menyusui, maka itu berarti ia harus berpuasa selama beberapa tahun berturut-turut setelahnya. Hal ini tentu memberatkannya, sedangkan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya.”[9]

Demikian, Wallahu a'lam.

____________

[1] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah ( 28/54), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (3/79).

[2] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (16/271).

[3] Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab ( 6/267).

[4] Al Mughni (4/394).

[5] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (3/79), Bada’i Ash Shana’i (2/97), Al Fawakihu ad Dawani (1/359).

[6] Fatwa tersebut bisa ditemukan dalam : ww*.al-qaradawi.ne*/node/3742

[7] Bidayatul Mujtahid (2/64)

[8]Tuhfatul Muhtaj (3/442).

[9] ww*.al-qaradawi.net/node/3742

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar