𝗠𝗘𝗡𝗜𝗞𝗔𝗛 𝗟𝗔𝗚𝗜 𝗗𝗜 𝗔𝗞𝗛𝗜𝗥𝗔𝗧 𝗦𝗜𝗔𝗣𝗔 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗦𝗨𝗔𝗠𝗜 ?
𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘨𝘪, 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘬 𝘥𝘪 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶𝘬𝘢𝘯 ? 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 ?
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Ketika suami istri dipisahkan oleh maut di dunia, mereka masih mungkin untuk bersatu lagi dalam ikatan suci nan kekal abadi di akhirat kelak. Istilah sekarang, cintanya kekal sehidup semati, asalkan dengan catatan si istri tidak menikah lagi.
Ibnu Asakir rahimahullah meriwayatkan satu Atsar dari Ikrimah, bahwasanya Asma binti Abu Bakar menjadi istri Zubair bin Awwam radhiyallahu’anhu, ia adalah laki-laki yang keras terhadapnya. Lalu Asma datang kepada ayahnya, lalu mengadukan semua itu kepadanya. Kemudian Abu bakar radhiyallahu’anhu berkata:
يا بنيّة اصبرى فإن المرأة إذا كان لها زوج صالح ثمّ مات عنها فلم تزوّج بعده جمع بينهما في الجنّة
“Wahai putriku, bersabarlah! Sesungguhnya seorang wanita apabila ia memiliki suami yang shalih, kemudian ia ditinggal mati suaminya dan tidak menikah lagi sesudahnya, maka Allah akan mengumpulkan keduanya di surga.”[1]
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗮𝘂 𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗶𝗸𝗮𝗵 𝗹𝗮𝗴𝗶 ?
Jika si istri menikah lagi, ada khilaf dikalangan para ulama, sebagian berpendapat ia akan dikumpulkan dengan suami yang paling baik agama dan akhlaqnya, sedangkan yang lain berpendapat akan dikumpulkan dengan suami terakhirnya dan ada juga yang berpendapat ia nanti akan diberikan hak untuk memilih siapa dari suaminya di dunia untuk dijadikannya suami di surga.
𝟭. 𝗦𝘂𝗮𝗺𝗶 𝘁𝗲𝗿𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿
Pendapat pertama ini adalah yang paling kuat dan yang dipegang oleh mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang disebutkan Imam Thabrani, saat Mu’awiyah bin Abi Sufyan melamar Ummu Darda’ setelah wafatnya suaminya Abu Darda’, maka Ummu Darda’ berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Abu Darda’ berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Siapa wanita yang ditinggal mati suaminya lalu menikah lagi maka ia untuk suami terakhirnya.”
Kemudian Ummu Darda’ berkata kepada Muawiyah : ‘Tidaklah aku lebih memilih dirimu (wahai Mu’awiyah) dari pada Abu Darda’. . .”
Demikian juga imam Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunannya satu atsar dari Hudzaifah radhiyallahu'anhu, ia berkata kepada istrinya :
إن شئت أن تكوني زوجتي في الجنة ، فلا تزوجي بعدي ، فإن المرأة في الجنة لآخر أزواجها في الدنيا ، فلذلك حرم الله على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم أن ينكحن بعده لأنهن أزواجه في الجنة
"Jika kamu mau jadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah lagi sesudahku, karena seorang wanita di surga untuk (bersama) suami terakhirnya di dunia, oleh karenanya Allah haramkan atas istri-istri Nabi ﷺ menikah lagi sesudahnya, karena mereka akan menjadi istri-istri beliau di surga.” [2]
𝟮. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗵𝗹𝗮𝗾𝗻𝘆𝗮
Dalil pendapat ini didasarkan kepada satu riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, bahwa ummul mukminin Ummu Habibah berkata: “Wahai Rasulullah, seorang wanita memiliki dua suami saat di dunia, kemudian mereka semua meninggal dan berkumpul di surga, wanita tersebut akan menjadi milik siapa dari keduanya? Yang pertama atau yang terakhir?”
لِأَحْسَنِهِمَا خُلْقًا كَانَ مَعَهَا يَا أُمَّ حَبِيبَةً، ذَهَبَ حُسْنُ الْخُلُقِ بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Rasulullah ﷺ menjawab, “Untuk yang terbaik akhlaknya wahai Ummu Habibah, khusnul khuluk (akhlak yang bagus) membawa kebaikan dunia dan akhirat.”[3]
𝟯. 𝗗𝗶𝗯𝗲𝗿𝗶 𝗽𝗶𝗹𝗶𝗵𝗮𝗻
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa nanti si istri akan diberi hak untuk memilih suami yang paling disukainya. Pendapat ini didasarkan kepada hadits berikut ini, di mana diriwayatkan Rasulullah ﷺ bersabda kepada ummu Salamah radhiyallahu’anha :
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا
“Wahai Ummu Salamah, dia akan diberi pilihan sehingga dia memilih yang paling baik di antara mereka.”[4]
Namun sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat ketiga ini dipandang sebagai pendapat yang paling lemah.[5]
Wallahu a’lam
___________________
[1] Thabaqat Ibnu Sa’ad (10/240)
[2] Sunan al Kubra (7/111)
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Humaid (1/365) Thabrani dalam al Kabir ( 23/222), dan imam al Haitsami mengatakan bahwa hadits ini lemah.
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh imam ath Thabrani dan beliau melemahkannya dalam kitabnya Mu’jam al Ausath (3/279)
[5] Al Tadzkirah (2/278)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar