Selasa, 22 Oktober 2024

SAAT KAYA DAN MISKIN HANYA JADI PILIHAN

 


SAAT KAYA DAN MISKIN HANYA JADI PILIHAN

 

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 

Ulama di masa lalu itu jika mau hidup kaya raya tentu sangatlah bisa. Karena peluang dan sarana untuk menggapai semua kesenangan termasuk kekayaan selalu terbuka. Di mana umat dan penguasanya sangat menghargai ilmu dan juga karya ulama.

 

Jika mereka mau, silahkan menjadi abdi negara, tak harus jadi menteri apa lagi qadhi, cukup menjadi pengajar di lembaga resmi, gaji yang mereka terima sudah bikin hidup cuma ongkang-ongkang kaki.

 

Sehingga kaya dan miskin bagi ulama saat itu hanya dijadikan sebagai pilihan. Bukan hal terlalu istimewa. Karenanya lalu ada sebagian ulama yang memilih menjadi orang kaya, contohnya imam Laits, Abu Yusuf dan Abdullah bin Mubarak.

 

Ada yang sebaliknya, memilih untuk hidup miskin dan sederhana, seperti imam Ibrahim bin Adham, A'masy dan Fudhail bin Iyadh. Namun ada juga yang memilih yang sedang-sedang saja, kaya sih nggak tapi disebut miskin juga sulit, seperti imam Ahmad, imam Malik dan imam Syafi'i.

 

Jadi sebenarnya, imam Syafi'i itu tergolong hidupnya hanya pas-pasan saja. Tidak kaya tidak juga miskin. Walah, yang sedang saja begitu, lalu yang kaya seperti apa ?

 

Coba baca sedekahnya imam Syafi'i di sini :

https://www.facebook.com/share/p/XybaPN4GgUMCi8To/?mibextid=oFDknk

 

Ya yang kaya beneran kayak Laits bin Sa'ad dan Abdullah bin Mubarak.  Lihat bagaimana kedermawanan Laits di sini :

 

https://www.facebook.com/share/p/ssrsYc9W4uEGL8gn/?mibextid=oFDknk

 

Imam Abdullah bin Mubarak di sini :

 

https://www.facebook.com/share/p/Q5VqWRbkhCbTQJt9/?mibextid=oFDknk

 

Dan tentu berbeda dengan hari ini, di mana menjadi kaya itu seperti obsesi dan cita-cita sebagian besar orang, bahkan mungkin keinginan semua orang, dari pelajar, orang tua pelajar, hingga yang bergelar ulama.

 

Tapi ya gitu, karena ilmu dan guru tidak dihargai, boro-boro bisa kaya, mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah syukuran. Kecuali kalau punya keahlian khusus seperti ahli menjilat, pintar membeo dan pandai menggonggong.

 

Wallahu musta'an

𝗕𝗜𝗟𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗟𝗔𝗠 𝗦𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗔𝗟 𝗠𝗨𝗝𝗔𝗗𝗜𝗟𝗔𝗛 𝗔𝗬𝗔𝗧 𝟳

 


𝗕𝗜𝗟𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗗𝗔𝗟𝗔𝗠 𝗦𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗔𝗟 𝗠𝗨𝗝𝗔𝗗𝗜𝗟𝗔𝗛 𝗔𝗬𝗔𝗧 𝟳

 

 𝘜𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘦𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘺𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘩 𝘢𝘭 𝘔𝘶𝘫𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘺𝘢𝘵 7. 𝘈𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘶𝘵𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪  ثَلَـٰثَةٍ 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 اربعة 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘭𝘰𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦 خَمۡسَةٍ ?

 

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

 

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 

Ayat yang ditanyakan tersebut berbunyi sebagai berikut :

 

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَا يَكُوْنُ مِنْ نَّجْوٰى ثَلٰثَةٍ اِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ اِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَآ اَدْنٰى مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْثَرَ اِلَّا هُوَ مَعَهُمْ اَيْنَ مَا كَانُوْ

 

𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘮𝘪? 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘢 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘋𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘋𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘦𝘯𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘋𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢…”

 

Dalam benak penanya dan juga kita yang membaca ayat di atas akan timbul rasa penasaran yaitu : Pertama, mengapa ayat tidak dimulai dengan menyebutkan dua orang dan Allah sebagai yang ketiga ?Kedua, mengapa setelah Allah menyebut ada tiga orang dan Dia yang keempat langsung loncat ada 5 orang dan Dia yang keenam. Mengapa tidak menggunakan ada 4 orang dan Dia yang kelima ?

 

Pertanyaan-pertanyaan ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka secara gamblang. Dan untuk memudahkan, berikut kami ringkaskan penjelasannya mengingat jika kami copy pastekan langsung apa adanya akan sedikit rumit dan sulit untuk dipahami oleh kalangan awam.[1]

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗱𝘂𝗻𝗴 𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴𝗡𝘆𝗮.

 

Jika ada tiga orang yang bermusyawarah lalu yang terlibat dalam diskusi hanya dua orang, dalam artian orang ketiga sengaja tidak diajak atau dicuekin maka itu akan menyakitkan orang ketiga tersebut. Demikian juga dengan orang yang berlima, jika empat orangnya terlibat asyik dalam pembicaraan, sedangkan orang yang kelima sengaja disisihkan, maka itu akan menyakitkan baginya.

 

Penjelasan ini langsung menjawab pertanyaan pertama, kenapa ayat tidak dimulai dengan menyebut dua orang dan Allah sebagai pihak yang ketiga, karena bila dua orang yang saling berbisik-bisik, tidak akan ada pihak ketiga yang sengaja disisihkan.

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮, 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝗸𝗮𝗶 𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮 𝗴𝗮𝗻𝗷𝗶𝗹.

 

Penuturan ayat yang dimulai dengan menyebutkan bilangan ganjil, yakni 3 dan 5 karena Allah menyukai perkara yang terdiri dari angka ganjil. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu’alaihi wassalam :

 

إنَّ اللهَ وِتْرٌ، يُحِبُّ الْوِتْرَ

 

 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘸𝘪𝘵𝘪𝘳 (𝘵𝘶𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭), 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘯𝘫𝘪𝘭.” (HR. Bukhari)

 

Al imam al ‘Aini rahimahullah menjelaskan :

 

‌يفضله ‌في ‌الأعمال ‌وكثير ‌من ‌الطاعات ‌ولهذا جعل الله الصلوات خمسا والطواف سبعا وندب التثليث في أكثر الأعمال وخلق السموات سبعا والأرضين سبعا وغير ذلك

 

 "...𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘨𝘢𝘯𝘫𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘩𝘢𝘭, 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘩. 𝘚𝘦𝘮𝘪𝘴𝘢𝘭 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶, 𝘵𝘢𝘸𝘢𝘧 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘫𝘶𝘩 𝘱𝘶𝘵𝘢𝘳𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘫𝘶𝘳𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪 (𝘴𝘦𝘮𝘪𝘴𝘢𝘭 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘸𝘶𝘥𝘩𝘶). 𝘑𝘶𝘨𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘣𝘶𝘮𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘫𝘶𝘩 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵, 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘯𝘺𝘢...”[2]

 

Dan ketika Allah menyebut angka tiga, lalu setelahnya angka lima, bisa jadi diantara hikmah dari ayat ini adalah perkara ini (Allah menyukai yang ganjil).

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮, 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝘄𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗹𝗮𝗵𝗮𝘁.

 

Jika hanya ada dua orang yang bermusyawarah, lalu mereka bersengketa atau tidak bisa bersepakat, maka akan lebih sulit diraih mufakat. Namun jika pesertanya ada tiga orang, lalu ada dua pendapat dalam musyawarah tersebut, keberadaan orang ketiga bisa menjadi jalan penyelesaian masalah, entah dengan ia menjadi jembatan dari dua pendapat atau saat diadakan voting. Demikian juga dengan jumlah selanjutnya.

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁, 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝘁𝗮𝗮𝗻 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵.

 

Kalimat ayat akan lebih terasa mendalam ketika diungkapkan dengan : ketika ada tiga orang Allah yang keempat, ada lima orang Allah yang keenam, untuk menunjukkan penyertaan. Karena yang tadinya ganjil telah tergenapi. Untuk menunjukkan keikutsertaan dan keridhaan Allah pada musyawarah.

 

Kesan yang berbeda akan kita rasakan jika kalimat ayatnya : Tidaklah ada orang berempat kecuali dia yang kelima dan seterusnya…

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮, 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝗶 𝗸𝗼𝗻𝘁𝗲𝗸𝘀𝗻𝘆𝗮.

 

Ayat tersebut sedang berbicara tentang “Najwa” yang artinya pembicaraan rahasia. Yang mana namanya rahasia akan membuat orang penasaran dan ingin mengetahuinya.  Nah, seakan-akan ayat ini mengungkapkan hal ini lewat susunan kalimatnya.

 

Membuat kita penasaran dan ingin mengetahui mengapa Allah ta'ala menggunakan bilangan tiga dengan melompati bilangan dua. Lalu setelahnya dari bilangan tiga langsung kelima dengan melompati bilangan 4, meskipun pada akhirnya kita tahu Allah itu berbuat apapun sesuai dengan kehendakNya.

 

𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗲𝗻𝗮𝗺, 𝗮𝘀𝗯𝗮𝗯𝘂𝗻 𝗻𝘂𝘇𝘂𝗹.

 

Ayat ini memiliki latar belakang saat turunnya, yakni memang berbicara tentang keadaan tiga orang munafik yang sedang merencanakan makar untuk mencelakai kaum muslimin sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma. Mereka adalah Rabi’ah ibnu Amru, Habib Ibnu Amru, dan Safwan bin Umayyah.

 

Sehingga penyebutkan angka tiga ini adalah sebagai ungkapan fakta yang terjadi. Adapun penyebutan angka lima dan bilangan “tidak kurang dari itu atau lebih banyak” adalah sebagai penegasan.

 

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

 

Ini diantara sedikit hikmah dari hal yang ditanyakan dari ayat ke-7 dari surah al Mujadilah tersebut. Saya sebenarnya hendak menyebutkan hingga delapan point dari hikmah-hikmah yang terkandung dalam ayat ini karena memang masih banyak penjelasan dari para ulama yang bisa disertakan. Tapi takutnya nanti tidak dibaca, atau malah ada yang nanya lagi : “Mengapa harus delapan ?!” Dari pada cuma nambah masalah, saya cukupi saja ya...

 

📚Wallahu a’lam

______

[1] Referensi : Mafatih al Ghaib ( 29 /489-492), al Qurthubi (17/289-290), ath Thabari (23/270-272)

[2] Umdatul Qari (23/29)